Tema Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One semalam Sudden Death Jokowi VS Prabowo sungguh menarik mestinya. Dari judulnya saja sudah menggoda dan memberi daya magnit tersendiri untuk menyaksikan program acara talk show yang amat dirindui pemirsa. Dengan menghadirkan tim sukses kedua pasangan Capres/cawapres yang akan bertarung dalam Pilpres 9 Juli mendatang dan para bangsawan pikiran bangsa, di antaranya Prof. Tjipta Lesmana, Prof. Salim Said dan Prof Refly Harun, semestinya program ILC semalam mampu mengelaborasi visi misi para Capres/Cawapres sehingga akan menambah perbendaharaan gizi politik bagi masyarakat sebelum menentukan pilihannya pada 9 Juli mendatang.
Sayang sejuta sayang, talkshow ILC yang dikenal sebagai program bernas dan memperkaya wawasan berpikir masyarakat harus ternodai dengan debat kusir yang diaksikan oleh para politisi yang berapologi ria tanpa memberikan solusi yang akurat dan mencerahkan serta solusi yang bermanfaat atas masalah yang mareka argumentasikan sehingga ketidaktahuan masyarakat pemirsa menjadi tahu dan paham.
Perdebatan kusir antara politisi PDI-P Effendi Simbolon dan Gerindra Fadli Zon sungguh-sungguh mengecewakan dan menambah daftar para politisi yang bukan hanya tak membernaskan dan mencerdaskan namun menjadikan program ILC yang demikian bernas dan mencerdaskan menjadi ngawur dan tak layak ditonton.
Bahkan perdebatan kedua politisi itu menunjukkan dan memfaktakan kepada kita sebagai rakyat sekaligus pemirsa bahwa kelas dan level mareka masih kalah kasta dengan para politisi kelas Kampung saya Toboali, Bangka Selatan yang biasa berdebat dan beradu argumentasi di warung kopi yang selalu menggunakan data, fakta dan bukan saling menyerang tanpa data dan fakta sebagai argumentasi.
Menyaksikan debat kusir keduanya semalam menunjukkan bahwa kualitas anggota DPR RI periode 2014-2019 masih jauh dari asa rakyat dan tak akan pernah berpihak kepada rakyat jelata yang selama ini inheren dengan slogan dan simbol yang diusung para Parpol dan politisi. Harapan rakyat untuk membentangkan asanya setinggi bintang di jagat raya terhadap penghuni parlemen periode mendatang kayaknya hanya mimpi di siang bolong. Bak punguk rindukan bulan.
Menyaksikan debat kusir tanpa solusi dari kedua politisi yang katanya intelektual membuktikan bahwa secara tak langsung keduanya memperlihatkan kualitas murahan mereka di hadapan rakyat yang menonton program ILC itu. Dan saya sangat yakin dan percaya ketika rakyat saat Pileg lalu memberikan amanatnya kepada kedua politisi itu akan merasa malu. Sayangnya perilaku mareka baru ketahuan belangnya ketika Pileg sudah selesai dan pilihan telah diberikan. Kalau tidak ,saya sungguh yakin, amat berat keduanya akan duduk di parlemen yang katanya terhormat itu.
Apa pun yang diaksikan kedua politisi itu dalam program ILC semalam, bintang panggungnya harus kita berikan kepada bangsawan pikiran bangsa Prof. Tjipta lesmana yang langsung mengubah debat oleh politisi tanpa malu itu menjadi sebuah adegan baru yang berkualitas sehingga tema program ILC menjadi kembali pada pokok permasalahannya.
Dan Prof. Refly serta Prof. Salim Said adalah dua bintang panggung ILC semalam lainnya yang mampu mentransformasi tema program kembali kepada titik persoalan dan mampu memberikan paparan dan diskursus yang menarik yang berorientasi kepada pencerdasan dan pencerahan bagi penonton untuk menambah vitamin panduan dalam Pilpres 9 Juli mendatang.
Ke depan tampaknya bang Karni Ilyas sebagai host dan penanggungjawab program bergengsi ILC perlu kembali memikirkan para narasumber yang akan menjadi tamu dan pembicara dalam ILC. Jangan sampai program ILC yang amat dirindui para pemirsa gagal memproduksi nilai-nilai pencerdasan dan pencerahan bagi pemirsanya dikarenakan ulah para narasumbernya sebelum program ini ditinggalkan penontonnya ke peraduan atau pindah channel yang lebih mencerdaskan dan mencerahkan pemirsa.
Sebagai penonton kita berhak memilih dan menyaksikan program acara televisi sesuai dengan selera dan taste kita. Buat apa kita menghabiskan waktu hanya untuk menonton dagelan para politisi yang tak mampu mencerdaskan dan mencerahkan daya pemikiran kita. Bukankah lebih baik kita istirahat atau menonton cara lainnya yang lebih bernas, bervitamin dan bergizi untuk menambah daya kritis kita sebagai masyarakat.
Pada sisi lain kebiasaan terlalu lama menonton televisi/TV dan melihat TV dalam jarak dekat dapat menurunkan fungsi retina mata anak-anak.
”Televisi memancarkan sinar biru yang amat dekat dan berbahaya bagi anak,” kata Pratiwi Rapih Astuti yang memaparkan hasil penelitiannya bersama kawan- kawannya dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Nukleusnya sudah saatnya kita memilih dan memilah program televisi, kardinalnya yang tidak bermanfaat bagi otak kita sebagaimana aksi debat kusir yang diperlihatkan kedua politisi yang katanya politisi klas atas dan elite partai. Dan bagi pengelola media televisi, khusunya team kreatif talkshow sudah saatnya memilih dan memilah narasumber dan panelis yang akan ditampilkan kehadapan publik, kalau program televisi tak mau ditinggalkan penonton tidur. (Rusmin)
Mei 2014, Toboali, Bangka Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H