" Apakah dik Dara bisa mempertemukan aku dengan keluarga di pulau seberang? Rasanya sudah tak pantas kalau kita tak satu perahu. Sudah banyak manusia bejad di dunia ini. Kita mestinya jangan mengikuti jejak langkah mareka," ujar Dian Akew malam itu.
Dan yang amat membanggakan dan membahagiakannya sebagai anak, ketika kuliahnya selesai kendati lara dan kedukaan menjadi penghias hidupnya selama di perantauan dan menuntut ilmu. Dan ini yang membanggakan keluarganya di kampung, ketika Dara pulang dengan membawa gelar kesarjanaannya. Ada rasa bahagia yang menepuk dada dan raganya saat melihat kebahagian yang dirasakan orang tuanya, keluarga besarnya dan saudara-saudaranya yang lain di Kampung.
Sebagai orangtua, sang Ayah menginginkan putrinya hadir sebagai pembawa martabat keluarga. Bekerja sesuai bidang pengetahuannya. Alasann ayahya jelas. Dara berpendidikan. Dara adalah lulusan sekolah tinggi dan bergelar S1.
" Masa sih seorang anak perempuan berprofesi sebagai penulis dan pembaca puisi dari kampung ke kampung,? Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi kalau hanya ingin menjadi seorang penulis cerita dan pembaca deklamasi," tanya Sang Ayah penuh kegeraman. " Buat apa kami menghabiskan uang untuk menyekolahkan dirimu ke kota kalau kamu kerjanya hanya membaca pusi dan berdeklamsi? Buat apa," sambung Ayahnya lagi.Dan Dara selalu tidak menjawab. Wanita muda ini lebih baik diam. Tak ada guna berdebat dengan Sang Ayah. Toh ujung-ujungnya dirinya tetap akan mengalah dan mengalah.
Setidaknya siang itu sudah 9 kali nomor tanpa nama di hp nya mengejutkan dirinya. Perasaan malas mengangkat hp menjadi alasannya kenapa dia membiarkan nomor itu terus berdering tanpa henti dan malu. Dan entah karena dorongan apa, tiba-tiba keinginanya mengangkat hp itu mengumpal.
Dan...
" Hallo, apakah ini Dara," sapa suara dari seberang lewat hp.
" Oh, iya. Maaf ini dengan siapa ya," jawab Dara.
" Waduh Mbak Dara. Masa sih lupa ya dengan suara saya. Ini, Rian. Teman dekat kostnya Mbak Dra waktu kuliah dulu," ujar Rian lewat telepon genggamnya model terbaru.
" Oh, mas Rian. Apa kabar? Dimana sekarang? Kerja dimana,' Bibir tipis Dara terus menyerocos bernarasi tanpa irama. Bak mesin cuci yang terus menggiling baju tanpa henti hingga bersih.
Dan tertawa lepas dan bahagia mengisi hari Dara saat itu. Telepon berikutnya berlanjut. Terus berlanjut tanpa kenal waktu. Hanya telepon dan telepon kini yang ada diotak kananya. Kini hanya nomor telepon Rian yang selalu Dara nantikan.Setidaknya kini Rian menjadi pengisi hari-harinya. Membuat harinya sarat dengan warna kehidupan. Beragam inspirasi pun Dara lahirkan lewat pertemanan yang disalurkannya lewat media dan tulisan. Gelak tawa dan canda serta bahagia menjadi teman hidupnya kini. Kegalauan hatinya mulai menipis dan terobati. Obatnya adalah telepon dari Rian yang selalu hadir mengisi hari-harinya kini.
Dan kini telepon Rian adalah sesuatu yang amat ditunggu Dara sebagaimana rakyat negeri ini menunggu kehadiran pemimpin yang akan selalu membahagiakan rakyat dengan aksi -aksi nyata dan bukan retorika tanpa arah dan diksi-diksi berbungkus kebohongan semata.
Malam itu adalah malam yang membahagiakan. Pertemuannya dengan Rian sungguh membawa kebahagian. Kebahagian yang tak terkira.Bagaimana tidak, Rian kini telah menjelma sebagai seorang lelaki perkasa dan jantan. Berbeda 180 derajat dengan Rian yang Dara kenal dulu saat mareka masih kost di Kota. Kesejatian sebagai lelaki dimilikinya. Pekerjaan jelas. Karier terpandang.Masa depan jelas. Dan lelaki seperti Rian lah yang menjadi impian Sang Ayah untuk dirinya.
Namun keinginan Dara untuk menuntaskan perjalanan hidupnya sebagai penulis dan penyebar diksi-diksi indah di halaman hati rakyat tak terbendung. Tak terbendung sebagaimana tak terbendungnya keinginan petinggi Parpol untuk menjadi Capres dan Cawapres. Beberapa tawaran kerja di beberapa instansi dan lembaga negara di tolaknya dengan alasan belum saatnya dan serta tidak sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Dan ketika Rian dengan status sebagai duda satu anak meminangnya, Dara tak kuasa menolak. Setidaknya untuk memuaskan nafsu hidup ayahnya. Sebagai anak sudah saatnya Dara membahagiakan orang tuanya sebelum ajal menjemput. Dan ketika pinangan pun terjadi, Rian tak mempersoalkan perjanjian hati yang dibuat Dara. Bagi Rian, kehadiran Dara bisa menjadi teman hidup dan pertumbuhan anaknya yang sendiri tanpa kasih sayang seorang wanita sejati. Bagi Rian kasih sayang untuk sang anak lebih penting dari pada kasih sayang yang akan didapatkannya dari Dara.