Enggan rasanya menuliskan artikel ini. Mengingat, para pembacanya adalah orang yang sudah lama "kaffah" dalam keilmuan mereka. Diskursus mengenai Polahi, penulis ingin mengajak kita semua, memulai dengan tiga pertanyaan, sebagai bahan untuk berkontemplasi. Pertama, mengapa Polahi itu ada? Kedua, bagaimana mereka sampai ada? Ketiga, untuk apa keberadaanya kita kaji? Ulasan pertanyaan ini, juga sebagai respon atas klaim argumentasi yang disampaikan Basri Amin, dalam prolog karyanya Pomalingo & Rahim (2019), yang secara tekstual "Polahi memiliki otonomi komunitas yang mencerminkan kemandiriannya, karena mereka tidak bergantung pada sistem, atau struktur organisasi yang modern dan lebih bersifat nomaden."
Hemat penulis, hal ini aga sedikit menggelitik. Mengingat, ruang keterbukaan Polahi atas "era modern" masih sangat terbuka lebar. Hanya saja, harus diakui sistem pemerintahan kita, masih sangat minim akan inovasi dalam merancang program yang sifatnya jangka panjang, guna  mengakomodir hak-hak mereka. Padahal, banyak riset yang dilakukan oleh beberapa akademisi kampus, yang secara keseluruhan riset itu mengklaim hal yang sama bahwa, Polahi adalah warga asli masyarakat Gorontalo. Hadirnya riset tersebut, sekiranya membuka cakrawala berpikir kita, untuk menjawab premis pertanyaan, yang sudah lebih awal diajukan oleh penulis.
Sebelum jauh menguraikan dua versi sejarah keberadaan Polahi di Gorontalo, penulis akan lebih memfokuskan pada suku Polahi di Desa Pangahu, Kecamatan Asparaga. Hal ini dianggap menarik, sebab penelitian-penelitian terdahulu banyak mengulas keberadaan Polahi di wilayah tersebut. Titik perdebatan yang selama ini mencuat di permukaan publik adalah, soal versi sejarah soal asal usul keberadaan mereka. Olehnya, pada pembahasan ini, penulisan menghadirkan dua versi sejarah berdasarkan literatur review yang diperoleh penulis.
1. Asal Muasal Keberadaan Polahi
a. Polahi Versi Zaman Penjajahan VOC
Karya tulis Pomalingo (2015), Rahim (2015), dan Meteng et al. (2021) mengungkapkan bahwa Polahi adalah orang-orang yang pada masa kolonialisme mencari rotan dan damar dan dipaksa bekerja. Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal di hutan dan tidak kembali ke kampung halaman mereka hingga setelah Gorontalo merdeka pada tahun 1942. Secara khusus, dalam bahasa Gorontalo, "Polahi" bermakna "pelarian," yang merujuk pada peristiwa masa pemerintahan Raja Eyato dan Raja Biya (1677-1679) serta masa dua tokoh masyarakat Sumalata, Olabu dan Tamu, sekitar tahun 1899, ketika masyarakat Gorontalo melarikan diri dan mengungsi ke dalam hutan. Peristiwa ini dikenal dengan periode perlawanan pertama Raja Eyato (1673-1679) yang terjadi pada tahun 1674, sebagai upaya melawan Ternate dan kompeni Belanda serta mencoba membebaskan diri dari penjajahan Belanda yang membantu Ternate. Â Â Â Â Â
Kendati demikian, menurut Van Baak yang dikutip oleh Haga (1931), jumlah penduduk Kerajaan Gorontalo pada saat itu diperkirakan mencapai 40.000 jiwa, dengan sekitar sepertiga dari mereka berada dalam kondisi perbudakan. Para marsaoleh (kepala distrik) diberi kuasa untuk meminta wajib kerja (verplichte diensten) dan penyerahan wajib (verplichte leveranties) dari penduduk di wilayah distrik masing-masing. Setiap keluarga diharuskan membayar pajak setiap tahun, yang bisa digantikan dengan emas pasir. Pembangunan atau perbaikan jalan dan jembatan memerlukan tambahan tenaga kerja, sehingga para marsaoleh memerintahkan wajib kerja kepada penduduk. Periode perbudakan yang dialami oleh masyarakat Gorontalo berlangsung lama selama masa penjajahan, dan mereka terpaksa hidup dalam keterbatasan serta menjalani pekerjaan sesuai keinginan penjajah (Pomalingo, 2015).
Sebagai implikasi dari peristiwa itu, banyak penduduk Gorontalo memilih untuk meninggalkan kampung dan harta benda mereka, kemudian mengungsi ke hutan-hutan atau daerah pegunungan. Mereka merasa terpaksa mencari perlindungan di wilayah-wilayah yang terpencil ini untuk menghindari penindasan dan eksploitasi lebih lanjut oleh para penjajah. Dalam pengungsian tersebut, mereka umumnya menetap di tempat-tempat yang sulit dijangkau dan berusaha mencari nafkah dengan mengumpulkan hasil-hasil hutan, terutama rotan, yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kehidupan di hutan yang penuh tantangan membuat mereka mengembangkan keterampilan bertahan hidup yang unik, serta membangun komunitas-komunitas kecil yang mandiri dan terisolasi dari dunia luar.
b. Polahi Versi Pertengkaran Hemuto dan Limuno
Menurut Madjowa (1997), Hemuto adalah orang yang pertama kali mengasingkan diri di hutan akibat kalah melawan Limuno. Rasa malu yang menyelimuti adalah faktor yang mendasari pelarianya tersebut. (Pomalingo, 2015). Dalam konteks sosial masyarakat Gorontalo, rasa malu acap kali penyebutanya "molito". Kekalahan dalam pertarungan, terutama dalam konteks yang melibatkan kehormatan dan status sosial, dapat menjadi beban psikologis yang berat. Rasa malu yang dialami Hemuto lebih dari sekadar perasaan pribadi, tetapi juga sebuah stigma sosial yang mempengaruhi persepsi dirinya di mata komunitas. Pilihan Hemuto untuk mengasingkan diri di hutan menunjukkan adanya cara-cara tradisional dalam menghadapi kegagalan dan stigma sosial. Pengasingan diri ini mungkin dilihat sebagai upaya untuk memulihkan harga diri dan menenangkan diri dari tekanan sosial. Dalam budaya Gorontalo, seperti dalam banyak budaya tradisional lainnya, tindakan semacam ini dapat dimaknai sebagai bentuk pertobatan atau pencarian makna baru dalam hidup.
Kilas balik dari peristiwa itu, suku Polahi di Gorontalo tersebar di sekitar Gunung Boliohuto dengan ketinggian mencapai 2065 meter dan pegunungan Tilongkabila yang berbatasan dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Mereka juga mendiami area lereng gunung Lianga yang berada di dalam hutan Pangahu. Untuk mencapai pemukiman Polahi, perjalanan melibatkan melewati Sungai Pangahu dan mengikuti jalan setapak yang digunakan dalam pengumpulan rotan. Sebagian komunitas Polahi dapat ditemui di Desa Polohungo, yang dapat dicapai dengan menyeberangi Sungai Bongo, di mana mereka masih mempertahankan sistem kerajaan dengan keberadaan olongia, seorang raja. Â Dan untuk pemukiman masyarakat Polahi tersebar di wilayah hutan dan pegunungan, termasuk di Alawahu, Boliyohuto, Tilongkabila, Kecamatan Asparaga, dan Kecamatan Tolangohula di Kabupaten Gorontalo. (Pomalingo, 2015).
Rekonstruksi urian peristiwa diatas, keberadaan Polahi yang masih dapat di identifikasi wujud keberadaanya terletak di salah satu desa yakni Desa Pangahu. Seperti halnya desa-desa yang lain, wilayah ini dihuni oleh mayoritas pemeluk agama islam dan juga sebagian memiliki keyakinan atheisme. Keyakinan tidak meyakini adanya "Tuhan" mayoritas didominasi oleh suku polahi yang berada di Wilayah Hutan Dusun Dianga, dimana, desa ini merupakan sentral perbatasan antara Dusun Silih Asih dari arah Barat dan dari arah timur Dusun Alawahu Desa Pangahu, Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo. Jarak tempuh 72 Km yang estimasi waktu perjalanan bisa mencapai 3-4 apabila menuju dari arah Kota Gorontalo. Jauh sebelum wilayah ini diresmikan menjadi Desa Pangahu, Polahi sudah hidup di daerah ini. Hanya saja, kemunculan aktif mereka di Desa tersebut terjadi pada tahun 2000 s/d Tahun 2023 saat ini dengan nuansa hidup (tradisional).
2. Nilai Identitas Polahi
a. Kebiasaan Transaksi Nilai Tukar (Sistem Barter) Polahi.Â
Bila di definisikan, Kebiasaan adalah  pada pola tindakan atau praktik yang diulang secara teratur oleh individu atau kelompok dalam kehidupan sehari-hari mereka (Mantri, 2021). Dalam konteks suku Polahi, sistem barter digunakan untuk menukar hasil berburu mereka dengan makanan dan barang-barang lainnya tanpa melibatkan uang. Sedangkan, Simbolik kekuatan identitas lokal mengacu pada representasi atau lambang dari kekuatan identitas budaya dan lokal di suatu daerah tertentu.  Nilai tukar yang dimaksudkan mencakup pertukaran hasil buruan dengan makanan pokok dari masyarakat lokal di dataran, seperti daging rusa, daging sogili, dan daging sapi hutan yang sering ditukar dengan bahan makanan seperti beras. Selain itu, suku Polahi juga memiliki keahlian dalam membuat kerajinan anyaman dari rotan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan disebut "Sisiru" dalam bahasa Masyarakat di desa tersebut. Meskipun pada saat itu masyarakat lokal di Dusun Dianga, Silih Asih, Alawahu, Buyuo sudah mengenal nilai tukar dengan uang, Polahi tetap mempertahankan sistem barter yang merupakan bagian penting dari identitas budaya mereka.
Aktivitas Polahi yang terjadi dalam periode 2000-2012 dapat direduksi menjadi ketahanan eksistensi nilai identitas daerah Gorontalo dengan menggambarkan: Pertama, Sistem Ekonomi Berbasis Pertukaran Barang: Â Sistem nilai tukar tradisional yang dijalankan oleh suku Polahi mencerminkan ekonomi yang didasarkan pada pertukaran barang dan jasa daripada menggunakan uang sebagai alat tukar. Ini menekankan pentingnya hubungan komunitas dan kerjasama dengan masyarakat lokal melalui pertukaran hasil buruan dengan bahan makanan yang mereka butuhkan. Kedua, Kemampuan dalam Kerajinan Anyaman: Kemampuan Polahi dalam merajut dari rotan adalah aset budaya yang berharga. Ini mencerminkan keterampilan tradisional mereka dalam kerajinan tangan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Keterampilan ini tidak hanya bermanfaat dalam pembuatan alat sehari-hari, tetapi juga dalam memelihara warisan budaya mereka. Ketiga, Pemeliharaan Nilai-Nilai Tradisional: Meskipun nilai tukar uang dikenal di sekitar mereka, suku Polahi tetap mempertahankan sistem barter sebagai bagian integral dari identitas budaya mereka. Ini mencerminkan tekad mereka untuk melestarikan dan mewariskan nilai-nilai tradisional, bahkan dalam menghadapi perubahan zaman.
Dengan demikian, nilai-nilai ini memberikan wawasan tentang perkembangan dan ketahanan budaya suku Polahi dalam kondisi lingkungan yang unik di wilayah Gorontalo. salah satu bentuk kekuatan identitas kearifan lokal polahi tercermin dari sikap mereka untuk tetap bertahan pada kebiasaan asli mereka meskipun masyarakat lokal telah bertransformasi nilai tukar nya. Menyoroti hal ini, Menurut Astra (2014), ciri-ciri kearifan lokal mencakup kemampuan untuk; (1) Bertahan terhadap pengaruh budaya asing. (2) Menyesuaikan unsur-unsur budaya asing. (3) Mengintegrasikan unsur-unsur budaya asing ke dalam budaya asli. (3) Mengendalikan pengaruh budaya asing. (4) Memberikan arah dalam perkembangan budaya (Brata Ida Bagus, 2016).
b. Kebiasaan Penggunaan Bahasa Gorontalo Oleh PolahiÂ
Menurut Kaelan (2007), identitas nasional pada dasarnya merupakan ekspresi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa, yang ditandai oleh karakteristik uniknya. Karakteristik yang membedakan satu bangsa dengan bangsa lain dalam realitas kehidupan. (Dewi Sulisworo et al., 2012). Ungkapan kaelan, bila dikorelasikan atas pola kebiasaan aktivitas suku polahi merepresentasikan makna identitas yang sesungguhnya. Parameter tersebut, juga didasarkan pada aktivitas Polahi di Desa Pangahu masih eksis mempertahankan Bahasa Gorontalo. Bahkan, sekalipun terjadi kontak komunikasi dengan penduduk lokal Polahi tetap menggunakan bahasa lokal asli Gorontalo. Pembenaran argumentasi tersebut, juga selaras oleh Pomalingo & Rahim, (2019) dalam keseharian suku Polahi, Bahasa Gorontalo adalah bahasa utama yang mereka gunakan. Alasanya, meskipun terjadi perubahan era Polahi tetap berpegang teguh pada bahasa Gorontalo sebagai alat komunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Lain sisi, Polahi juga tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Melayu atau Indonesia.
Banyak riset yang mengangkat tentang Polahi di Provinsi Gorontalo. Kendati demikian, Pemerintah seolah-olah bungkam atas kehadiran mereka. Bukan hendak penulis mendikotori raihan yang sudah didapatkan oleh pemerintah daerah dari masa-ke-masa. Namun riset-riset yang sudah dilakukan belum berimplikasi pada tindak lanjut kebijakan pemerintah. Contoh kecil, Polahi tidak bisa berbahasa indonesia. Untuk itu, menurut hemat penulis seharusnya ada pola pengintegrasian menyangkut Bahasa Gorontalo dan Bahasa Indonesia. Artinya, penduduk lokal di Desa Pangahu dan penduduk suku Polahi bisa saling mengajarkan bahasa yang tujuanya untuk tetap mengeksistensikan bahasa Gorontalo. pun demikian, belum adanya kebijakan yang mampu memfasilitasi akan hal itu, juga menurut penulis perlu di bahasa bahkan seharusnya perlu dimasukan dalam muatan-muatan unsur pendidikan. Misalnya, memberdayakan suku polahi sebagai tenaga pendidik mengenai bahasa Gorontalo.
Kekhawatiran penulis akan pudarnya bahasa Gorontalo di tengah era modernisasi juga didasarkan situasi pendidikan saat ini yang kurang memasukan unsur bahasa lokal dalam pembelajaran. Darise et al., (2022) Perubahan bahasa Gorontalo dalam masyarakat Gorontalo sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk faktor situasional, faktor pendidikan, faktor ekonomi, serta faktor migrasi. Kiranya, dari 4 faktor ini, harus bisa direduksi bahwa kepunahan Bahasa Gorontalo akibat belum adanya alternatif solusi yang bisa diberikan oleh pemerintah baik secara lokal maupun pusat. Temuan yang lain, (Hasan, 2015) bahwa Bahwa sebagian besar penduduk Gorontalo, terutama di beberapa kasus, jarang lagi menggunakan bahasa Gorontalo.
Selain kepunahan bahasa Gorontalo, hal yang perlu disorot juga mengenai konsep pemberdayaan alam. Selama ini, masyarakat hanya menyukai produk-produk yang berasal dari luar ketimbang produk lokal. Misalnya Tutup saji makanan. Seharusnya, Polahi yang memiliki kemampuan untuk membuat anyaman juga perlu diberdayakan karya-karyanya melalui regulasi dari pemerintah daerah Provinsi Gorontalo. Sehingga, artikel ini bukan hanya sekedar mengangkat nilai lokalitas Polahi sebagai kekuatan identitas pun demikian, juga memberi masukan kepada pemangku kebijakan melalui konsep Model Pemberdayaan Polahi sebagai wujud untuk mengokohkan identitas yang dimaksud oleh penulis.
Untuk itu, solusi yang ditawarkan oleh penulis dalam mengokohkan identitas lokal daerah Khususnya melalui Polahi di Desa Pangahu dapat dilakukan dengan tiga alternatif sebagai berikut. Pertama, Perlu diberdayakan Polahi sebagai tutor bahasa Gorontalo di unit-unit pendidikan baik secara formal maupun non formal yang konsep pelaksanaanya juga harus didampingi orang lokal. Kedua, Polahi juga harus diberdayakan sebagai tutor untuk masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam. Karena, hemat penulis untuk kemampuan menyangkut dengan alam Polahi memiliki kapasitas akan hal itu. Namun, bukan berarti penulis mendikotomi masyarakat lokal tidak memiliki kapasitas. Melainkan kolaborasi tukar ilmu pengetahuan itu sangat penting. Ketiga, Sekiranya Alternatif 1 dan 2 tidak bisa di akomodir. Melalui Pusat Bahasa Daerah Provinsi Gorontalo, perlu membuat Pariwisata Polahi khususnya Polahi yang berada di Desa Pangahu, Kecamatan Asparaga Kabupaten Gorontalo.
Dapat disimpulkan, polahi, sebagai elemen integral dari warisan budaya Gorontalo, mewakili keberlanjutan nilai-nilai lokal yang kuat. Dalam era globalisasi yang semakin meluas, Polahi tetap berdiri sebagai penjaga identitas dan kearifan lokal. Tradisi ini mencerminkan hubungan erat antara masyarakat Gorontalo dan akarnya, menampilkan kekayaan budaya yang khas. Keberlanjutan Polahi adalah bukti komitmen masyarakat dalam menjaga identitas budaya mereka, terlepas dari pengaruh asing yang terus menerobos. Dalam konteks globalisasi, menjaga warisan budaya ini menjadi semakin penting, karena dapat mempertahankan akar-akar kebudayaan lokal yang memberikan identitas dan keunikan kepada masyarakat Gorontalo. selain itu, Kearifan lokal yang melekat pada Polahi mencakup nilai-nilai, tradisi, dan kebiasaan yang diperoleh dari generasi sebelumnya. Sehingga, pentingnya Polahi sebagai penjaga kearifan lokal yang tak ternilai harganya dalam masyarakat Gorontalo, memastikan bahwa warisan budaya ini terus hidup dan berkembang.
Referensi
Brata Ida Bagus. (2016). Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakti Saraswati. Diakses Pada Hari Minggu 20 Juli 2019. Pukul 00.00 WIB, 05(01), 9--16.
Darise, N., Malabar, S., & Salam, S. (2022). Pergeseran Bahasa Gorontalo pada Masyarakat Gorontalo di Kecamatan Singkil Kota Manado Sulawesi Utara. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 8(3), 885.
Dewi Sulisworo, T., Dik Dik, W., & Arif, B. (2012). Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional. In Universitas Ahmad Dahlan. https://doi.org/10.1109/ICACC.2012.2
Hasan, H. (2015). Pemertahanan Bahasa Gorontalo di Desa Limehe Barat Kecamatan Tabongo Kabupaten Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.
Mantri, Y. M. (2021). Digitalisasi Bahasa Daerah Sebagai Upaya Meningkatkan Ketahanan Budaya Daerah. Textura Journal, 2(2), 67--83.
Meteng, G. M., Soputan, M., & Kereh, O. A. (2021). PERKAWINAN SEDARAH SUKU POLAHI GORONTALO DITINJAU DARI PASAL 8 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974. Lex Crimen, X(13), 26--34.
Pomalingo, S. (2015). Polahi: Komunitas Pedalaman Suku Gorontalo. Cultura: Jurnal Dinamika Sosial Dan Budaya, 1(2), 53--62. https://repository.ung.ac.id/get/kms/11052/POLAHI-KOMUNITAS-PEDALAMAN-SUKU-GORONTALO.pdf
Pomalingo, S., & Rahim, S. (2019). Potret Etnografi Masyarakat Polahi. Ideas Publishing.
Rahim, S. (2015). Komunitas Perilaku Lingkungan Perempuan Polahi di Kawasan Hutan Lokasi Desa Bihe Kecamatan Asparaga Kabupaten Gorontalo. Jurnal Musawa IAIN Palu, 7(1), 121--157.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H