Kilas balik dari peristiwa itu, suku Polahi di Gorontalo tersebar di sekitar Gunung Boliohuto dengan ketinggian mencapai 2065 meter dan pegunungan Tilongkabila yang berbatasan dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Mereka juga mendiami area lereng gunung Lianga yang berada di dalam hutan Pangahu. Untuk mencapai pemukiman Polahi, perjalanan melibatkan melewati Sungai Pangahu dan mengikuti jalan setapak yang digunakan dalam pengumpulan rotan. Sebagian komunitas Polahi dapat ditemui di Desa Polohungo, yang dapat dicapai dengan menyeberangi Sungai Bongo, di mana mereka masih mempertahankan sistem kerajaan dengan keberadaan olongia, seorang raja. Â Dan untuk pemukiman masyarakat Polahi tersebar di wilayah hutan dan pegunungan, termasuk di Alawahu, Boliyohuto, Tilongkabila, Kecamatan Asparaga, dan Kecamatan Tolangohula di Kabupaten Gorontalo. (Pomalingo, 2015).
Rekonstruksi urian peristiwa diatas, keberadaan Polahi yang masih dapat di identifikasi wujud keberadaanya terletak di salah satu desa yakni Desa Pangahu. Seperti halnya desa-desa yang lain, wilayah ini dihuni oleh mayoritas pemeluk agama islam dan juga sebagian memiliki keyakinan atheisme. Keyakinan tidak meyakini adanya "Tuhan" mayoritas didominasi oleh suku polahi yang berada di Wilayah Hutan Dusun Dianga, dimana, desa ini merupakan sentral perbatasan antara Dusun Silih Asih dari arah Barat dan dari arah timur Dusun Alawahu Desa Pangahu, Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo. Jarak tempuh 72 Km yang estimasi waktu perjalanan bisa mencapai 3-4 apabila menuju dari arah Kota Gorontalo. Jauh sebelum wilayah ini diresmikan menjadi Desa Pangahu, Polahi sudah hidup di daerah ini. Hanya saja, kemunculan aktif mereka di Desa tersebut terjadi pada tahun 2000 s/d Tahun 2023 saat ini dengan nuansa hidup (tradisional).
2. Nilai Identitas Polahi
a. Kebiasaan Transaksi Nilai Tukar (Sistem Barter) Polahi.Â
Bila di definisikan, Kebiasaan adalah  pada pola tindakan atau praktik yang diulang secara teratur oleh individu atau kelompok dalam kehidupan sehari-hari mereka (Mantri, 2021). Dalam konteks suku Polahi, sistem barter digunakan untuk menukar hasil berburu mereka dengan makanan dan barang-barang lainnya tanpa melibatkan uang. Sedangkan, Simbolik kekuatan identitas lokal mengacu pada representasi atau lambang dari kekuatan identitas budaya dan lokal di suatu daerah tertentu.  Nilai tukar yang dimaksudkan mencakup pertukaran hasil buruan dengan makanan pokok dari masyarakat lokal di dataran, seperti daging rusa, daging sogili, dan daging sapi hutan yang sering ditukar dengan bahan makanan seperti beras. Selain itu, suku Polahi juga memiliki keahlian dalam membuat kerajinan anyaman dari rotan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan disebut "Sisiru" dalam bahasa Masyarakat di desa tersebut. Meskipun pada saat itu masyarakat lokal di Dusun Dianga, Silih Asih, Alawahu, Buyuo sudah mengenal nilai tukar dengan uang, Polahi tetap mempertahankan sistem barter yang merupakan bagian penting dari identitas budaya mereka.
Aktivitas Polahi yang terjadi dalam periode 2000-2012 dapat direduksi menjadi ketahanan eksistensi nilai identitas daerah Gorontalo dengan menggambarkan: Pertama, Sistem Ekonomi Berbasis Pertukaran Barang: Â Sistem nilai tukar tradisional yang dijalankan oleh suku Polahi mencerminkan ekonomi yang didasarkan pada pertukaran barang dan jasa daripada menggunakan uang sebagai alat tukar. Ini menekankan pentingnya hubungan komunitas dan kerjasama dengan masyarakat lokal melalui pertukaran hasil buruan dengan bahan makanan yang mereka butuhkan. Kedua, Kemampuan dalam Kerajinan Anyaman: Kemampuan Polahi dalam merajut dari rotan adalah aset budaya yang berharga. Ini mencerminkan keterampilan tradisional mereka dalam kerajinan tangan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Keterampilan ini tidak hanya bermanfaat dalam pembuatan alat sehari-hari, tetapi juga dalam memelihara warisan budaya mereka. Ketiga, Pemeliharaan Nilai-Nilai Tradisional: Meskipun nilai tukar uang dikenal di sekitar mereka, suku Polahi tetap mempertahankan sistem barter sebagai bagian integral dari identitas budaya mereka. Ini mencerminkan tekad mereka untuk melestarikan dan mewariskan nilai-nilai tradisional, bahkan dalam menghadapi perubahan zaman.
Dengan demikian, nilai-nilai ini memberikan wawasan tentang perkembangan dan ketahanan budaya suku Polahi dalam kondisi lingkungan yang unik di wilayah Gorontalo. salah satu bentuk kekuatan identitas kearifan lokal polahi tercermin dari sikap mereka untuk tetap bertahan pada kebiasaan asli mereka meskipun masyarakat lokal telah bertransformasi nilai tukar nya. Menyoroti hal ini, Menurut Astra (2014), ciri-ciri kearifan lokal mencakup kemampuan untuk; (1) Bertahan terhadap pengaruh budaya asing. (2) Menyesuaikan unsur-unsur budaya asing. (3) Mengintegrasikan unsur-unsur budaya asing ke dalam budaya asli. (3) Mengendalikan pengaruh budaya asing. (4) Memberikan arah dalam perkembangan budaya (Brata Ida Bagus, 2016).
b. Kebiasaan Penggunaan Bahasa Gorontalo Oleh PolahiÂ
Menurut Kaelan (2007), identitas nasional pada dasarnya merupakan ekspresi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa, yang ditandai oleh karakteristik uniknya. Karakteristik yang membedakan satu bangsa dengan bangsa lain dalam realitas kehidupan. (Dewi Sulisworo et al., 2012). Ungkapan kaelan, bila dikorelasikan atas pola kebiasaan aktivitas suku polahi merepresentasikan makna identitas yang sesungguhnya. Parameter tersebut, juga didasarkan pada aktivitas Polahi di Desa Pangahu masih eksis mempertahankan Bahasa Gorontalo. Bahkan, sekalipun terjadi kontak komunikasi dengan penduduk lokal Polahi tetap menggunakan bahasa lokal asli Gorontalo. Pembenaran argumentasi tersebut, juga selaras oleh Pomalingo & Rahim, (2019) dalam keseharian suku Polahi, Bahasa Gorontalo adalah bahasa utama yang mereka gunakan. Alasanya, meskipun terjadi perubahan era Polahi tetap berpegang teguh pada bahasa Gorontalo sebagai alat komunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Lain sisi, Polahi juga tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Melayu atau Indonesia.
Banyak riset yang mengangkat tentang Polahi di Provinsi Gorontalo. Kendati demikian, Pemerintah seolah-olah bungkam atas kehadiran mereka. Bukan hendak penulis mendikotori raihan yang sudah didapatkan oleh pemerintah daerah dari masa-ke-masa. Namun riset-riset yang sudah dilakukan belum berimplikasi pada tindak lanjut kebijakan pemerintah. Contoh kecil, Polahi tidak bisa berbahasa indonesia. Untuk itu, menurut hemat penulis seharusnya ada pola pengintegrasian menyangkut Bahasa Gorontalo dan Bahasa Indonesia. Artinya, penduduk lokal di Desa Pangahu dan penduduk suku Polahi bisa saling mengajarkan bahasa yang tujuanya untuk tetap mengeksistensikan bahasa Gorontalo. pun demikian, belum adanya kebijakan yang mampu memfasilitasi akan hal itu, juga menurut penulis perlu di bahasa bahkan seharusnya perlu dimasukan dalam muatan-muatan unsur pendidikan. Misalnya, memberdayakan suku polahi sebagai tenaga pendidik mengenai bahasa Gorontalo.
Kekhawatiran penulis akan pudarnya bahasa Gorontalo di tengah era modernisasi juga didasarkan situasi pendidikan saat ini yang kurang memasukan unsur bahasa lokal dalam pembelajaran. Darise et al., (2022) Perubahan bahasa Gorontalo dalam masyarakat Gorontalo sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk faktor situasional, faktor pendidikan, faktor ekonomi, serta faktor migrasi. Kiranya, dari 4 faktor ini, harus bisa direduksi bahwa kepunahan Bahasa Gorontalo akibat belum adanya alternatif solusi yang bisa diberikan oleh pemerintah baik secara lokal maupun pusat. Temuan yang lain, (Hasan, 2015) bahwa Bahwa sebagian besar penduduk Gorontalo, terutama di beberapa kasus, jarang lagi menggunakan bahasa Gorontalo.