Bait-bait puisi yang pernah kujanjikan padamu, sedang tenggelam di selasar kegelapan paling malam. Aku terlalu lama mendiami pagi yang lebih buta dari lorong-lorong tanpa cahaya. Padahal aku tidak sedang menawan matahari di hati. Aku hanya tersesat di labirin sunyi. Tanpa mimpi.
Aku ingin menyadur kegaduhan. Yang dulu pernah dinyalakan oleh api. Dari tungku yang tak pernah mati.
Aku ingin menyitir keramaian. Yang dulu pernah disulut dinihari. Dari rembulan yang terpenggal. Hingga purnama yang menyesaki tanggal.
Aku ingin berada, di langkan kota. Lalu menyusur setiap gang sempit. Untuk menyaksikan cuaca saling berhimpit.
Aku ingin menyapa, seribu desa. Lalu menyisir setiap pematang sawahnya. Untuk menemukan, sebuah dangau yang sempurna. Tempatku menulisi senja, yang dihujani oleh kata-kata.
Aku ingin, mengendarai palagan kurusetra. Agar bisa merangkai kedahsyatan Mahabarata. Di kepala. Â
Aku ingin, menjadi istana Alengka. Agar dapat berkisah tentang cinta tak ada duanya. Di kedalaman rongga dada.
Aku hanya tidak ingin. Berhenti menjadi angin
Lalu mati, dalam dingin
Bogor, 27 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H