Agar bisa meninggalkan jejak-jejak yang lama mengkultus, dibuatlah sebuah perangkap omnibus. Ketika nyaris semua yang punya kuasa berpikir lebih taktis. Bahwa ini adalah peperangan. Melawan barikade yang menghadang investasi. Bahwa lingkungan adalah semacam duri-duri.
Tanah dan air disamakan dengan pelumas dan bensin. Dimasukkan sebagai biaya produksi dan bukannya faktor koreksi. Lupa bahwa dari tanahlah semua dilahirkan. Tak ingat bahwa air adalah rahim segala kehidupan.
Â
Orang-orang disamakan dengan komponen mesin. Para pekerja adalah baut dan mur yang mudah diganti bila telah mencapai keausan. Lupa bahwa orang-orang inilah sesungguhnya yang mesti diangkat nasibnya. Dan bukan menjadi pelanggan bisnis hiburan dengan iming-iming luasnya tanah kuburan.
Katanya, birokrasi terlalu panjang. Harus dipangkas seperti rambut gondrong yang tak layak pandang. Tapi cara-cara yang digunakan, adalah cara seorang pemburu tak punya kehormatan. Ketakutan akan cakar dan kuku. Memasang jerat untuk menangkap harimau. Sementara jumlah harimau di dunia hanya tinggal satu. Sungguh miris dan lucu.
Hampir semua mengatakan iya iya saja. Jauh lebih mudah berkawan dengan kuasa daripada harus berseteru dengannya. Bagaimanapun mereka sudah dinobatkan. Tak mungkin para pemilih menarik ludahnya untuk kembali ditelan. Bajingan!
Bogor, 22 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H