setangkai pagi, mekar dengan sendirinya
di sebuah kota hiruk pikuk
dengan para penghuninya yang kikuk
berlomba-lomba
menaiki tangga kereta, membuka tingkap bus kota
membelah bermulanya keramaian
namun kehilangan semua percakapan
hanya nampak rencana-rencana bersliweran
di mata mereka yang kehilangan tatapan
kota adalah makhluk murka yang tak mengenal tata krama
semua ditimbang menggunakan neraca
jual-beli, untung rugi
tanpa tawar menawar lagi
bagi orang-orang proletar
hidup di kota adalah bernafas dengan halilintar
selalu membuat hati gentar, tubuh gemetar
apakah akan hangus terbakar
atau terhindar dengan cara memasang muka sabar
mengelus dada dan berkata
; ini hanyalah sebuah prakata sederhana
dari keseluruhan buku yang harus dibaca
bertahan bukanlah pilihan
namun jelas-jelas sebuah keharusan
kota adalah predator yang sempurna
bagi mereka yang merasa dirinya mangsa
kota juga adalah lubang raksasa
yang akan menelan segalanya
bagi mereka yang mudah putus asa
namun sesungguhnya kota juga adalah ulama
yang mengajarkan banyak filosofi
bagaimana meraih mimpi
tanpa harus membunuh dirinya sendiri
Jakarta, 14 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H