Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Jumat di Pondok Indah

24 Juni 2019   10:42 Diperbarui: 24 Juni 2019   11:12 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Raka merasa tengkuknya mendadak nyaris beku setelah ditiup angin sedingin es. Nyaris semua bulu di tubuhnya meremang. Langkahnya semakin dipacu. Jalanan menuju rumah Rini memang sepi. Rini tinggal di sebuah kompleks perumahan mewah yang tata letaknya seperti rumah-rumah di luar negeri. Pondok Indah.

Berhalaman luas, tanpa pagar dan rumahnya besar-besar. Jarak antar rumah mungkin lebih dari 20 meter. Jalanan yang membelah perumahan inipun satu arah sehingga nampak sangat lebar dan lengang.

Hanya satu dua kendaraan yang lewat. Maklum sehabis hujan sehingga mungkin para penghuni perumahan mewah ini malas keluar. Lagipula di zaman sekarang, semua kebutuhan bisa dipesan melalui gawai. Tak perlu repot-repot pergi ke swalayan atau restoran.

Raka menyumpahi motor tuanya yang mendadak mogok di tengah jalan sementara dia sudah ada janji dengan Rini untuk membantunya mengerjakan tugas kuliah yang jatuh tenggat waktunya besok pagi. Terpaksa dia meninggalkan motornya di bengkel yang masih buka dan bergegas berjalan kaki ke sini. Untunglah jaraknya tidak terlalu jauh lagi.

Tapi mau tak mau dia akhirnya terjebak pada situasi yang cukup tidak nyaman ini. Berjalan sendirian dalam kesunyian.

Raka memompa semangatnya. Lagipula ini Rini yang minta. Gadis jelita yang ditaksirnya setengah mati di kampus.

"Huh! Orang-orang kaya ini rupanya cukup pelit dengan lampu. Nyaris semuanya temaram dan remang-remang!" Raka menggerutu sambil tersaruk-saruk dalam keremangan.

"Rrrrrtttttttt......"

Sebuah suara mengagetkan Raka yang sedang merangkai lamunan tentang Rini. Arahnya dari sebelah kiri. Dari sebuah bangunan rumah besar dan mewah yang hanya diterangi lampu kecil di tamannya yang besar.

Raka terkesiap. Apalagi setelah melihat sesosok siluet mendekat. Pikirannya langsung teringat pada sebuah urband legend di komplek mewah ini.

Pikiran Raka menyarankan untuk berlari. Tapi kakinya sama sekali tak mau diperintah. Kaku dan beku. Hanya dari sorot matanya terlihat betapa ketakutannya Raka. Hilang sudah kegagahannya yang selalu mengatakan bahwa dunia lain itu tahayul belaka.

Sosok itu makin mendekat. Raka menguatkan dirinya agar jangan terkencing di celana. Memalukan!

"Raka, kenapa bengong? Terus kenapa tubuhmu menggigil begitu?" sosok itu bersuara saat sudah tepat berdiri di bawah bayangan lampu. Rini!

Raka menghembuskan nafas dalam-dalam. Kelegaan menjalari rongga dadanya yang tadinya sesak. Ternyata bayangan yang nampak mengerikan itu tadi Rini. Gadis yang dipujanya.

Rini mengajak Raka masuk ke rumah yang temaram itu. Mempersilahkan Raka duduk di teras lalu pamit untuk membuatkan minuman hangat. Mungkin Rini iba melihat Raka yang terlihat agak syok. Entah karena apa tapi Rini merasa itu karena dirinya.

Raka memperhatikan beranda rumah megah itu dengan seksama. Hmm, betul-betul mewah! Tertata dengan indah dan rapi. Pot-pot bunga di sana sini. Dan semuanya seolah mekar malam ini! Aroma wangi menguar di mana-mana. Raka menyukai bunga karena ibunya di rumah juga bertanam aneka bunga. Dia hapal segala macam wangi bunga.

Ini wangi kamboja! Tidak bercampur dengan wangi bunga lainnya. Raka agak terheran. Dilihatnya banyak sekali jenis bunga yang mekar di taman maupun beranda, kenapa wangi kamboja bisa mengalahkan yang lainnya?

Keheranan Raka terhenti saat Rini keluar dan membawakannya teh hangat yang dicampur dengan lemon.

"Ini bisa meredakan keteganganmu Raka. Minumlah mumpung masih hangat," Rini tersenyum manis sekali.

Raka terpesona melihat senyum itu. Meraih gelas di tangan Rini. Tangannya bersentuhan tanpa sengaja dengan tangan Rini. Nyaris saja gelas itu terjatuh karena Raka terjengit kaget bukan main. Tangan Rini sedingin es!

Mungkin karena malam ini memang dingin dan di dalam rumahnya pasti full AC. Raka menjawab sendiri kekagetannya.

"Raka, aku to the point saja ya? Apakah benar kamu memang suka aku?" pertanyaan Rini yang blak-blakan menimbulkan kekagetan Raka yang kedua kalinya. Duh, malam ini penuh sekali dengan kejutan.

Tapi Rini kelihatannya serius dengan pertanyaannya. Dan itu, senyumnya tak menghilang dari wajahnya yang jelita. Rini selama ini lumayan judes terhadapnya. Tidak pernah bersikap semanis ini. Ah, mungkin ini pertanda bagus.

"Ehh, Uhh, I..iya Rin. Terus terang aku sangat menyukaimu. Kalau kamu..?" Raka agak gagap pada mulanya. Jantungnya berdebar keras menunggu jawaban Rini.

Senyum di wajah Rini makin lebar. Raka merasakan jantungnya perlahan normal kembali.

"Iya Raka. Aku pun menyukaimu. Maukah kamu jadi pacarku? Dan maukah kamu menuruti permintaanku sebagai syarat menjadi pacarku?"

Tanpa berpikir panjang Raka mengangguk-angguk seperti burung Pelatuk.

Rini tertawa lirih lalu bangkit berdiri. Tangannya diangsurkan ke Raka. Mengajaknya masuk rumah.

Raka agak kikuk. Menduga-duga. Hmm, mungkin mau diperkenalkan kepada orang tuanya barangkali. Wah, Rini serius sekali.

Raka ikut berdiri. Memegang tangan dingin Rini. Buru-buru dilepaskannya sambil minta maaf kepada Rini. Gawai di saku celananya bergetar-getar terus. Ada telpon masuk. Sedari tadi memang tapi diabaikannya karena suasana yang begitu hangat dengan Rini. Raka takut ini dari ibunya. Ibunya sedang sakit di rumah.

Rini duduk kembali saat Raka meraih gawainya dan mendekatkan ke telinga.

"Raka! Aku sudah terkantuk-kantuk menunggu kamu sedari tadi! Kamu kemana saja? kalau memang tidak jadi kabarin dong. Jangan membuatku menunggu tak tentu. Tugas ini penting sekali bagiku. Besok harus sudah masuk dosen pembimbing. Kalau tidak aku harus mengulang penelitianku tau!" Suara melengking tinggi yang sangat dikenalnya membuat Raka tertegun membatu. Itu suara Rini!

Jadi?

Raka tidak mendengar lagi cerocosan suara Rini di gawai. Pandangannya terpaku kepada Rini di depannya yang masih tersenyum. Makin lama makin lebar. Dilanjutkan dengan tawa panjang. Cekikikan.

Hihihihihihihihihi......

Wajah Rini di hadapannya yang sedang tertawa panjang makin lama makin memucat. Seolah kehilangan semua darah di mukanya. Angin yang sangat dingin tiba-tiba menampar tengkuk Raka yang tengah melihat rumah megah itu perlahan-lahan berubah menjadi tua, rusak dan tidak terawat.

Ya ampuunn! Ini kan rumah tua di Pondok Indah yang terkenal mengerikan itu?

Raka pingsan. Rupanya ini adalah kejutan selanjutnya.

Jakarta, 24 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun