Tapi Rini kelihatannya serius dengan pertanyaannya. Dan itu, senyumnya tak menghilang dari wajahnya yang jelita. Rini selama ini lumayan judes terhadapnya. Tidak pernah bersikap semanis ini. Ah, mungkin ini pertanda bagus.
"Ehh, Uhh, I..iya Rin. Terus terang aku sangat menyukaimu. Kalau kamu..?" Raka agak gagap pada mulanya. Jantungnya berdebar keras menunggu jawaban Rini.
Senyum di wajah Rini makin lebar. Raka merasakan jantungnya perlahan normal kembali.
"Iya Raka. Aku pun menyukaimu. Maukah kamu jadi pacarku? Dan maukah kamu menuruti permintaanku sebagai syarat menjadi pacarku?"
Tanpa berpikir panjang Raka mengangguk-angguk seperti burung Pelatuk.
Rini tertawa lirih lalu bangkit berdiri. Tangannya diangsurkan ke Raka. Mengajaknya masuk rumah.
Raka agak kikuk. Menduga-duga. Hmm, mungkin mau diperkenalkan kepada orang tuanya barangkali. Wah, Rini serius sekali.
Raka ikut berdiri. Memegang tangan dingin Rini. Buru-buru dilepaskannya sambil minta maaf kepada Rini. Gawai di saku celananya bergetar-getar terus. Ada telpon masuk. Sedari tadi memang tapi diabaikannya karena suasana yang begitu hangat dengan Rini. Raka takut ini dari ibunya. Ibunya sedang sakit di rumah.
Rini duduk kembali saat Raka meraih gawainya dan mendekatkan ke telinga.
"Raka! Aku sudah terkantuk-kantuk menunggu kamu sedari tadi! Kamu kemana saja? kalau memang tidak jadi kabarin dong. Jangan membuatku menunggu tak tentu. Tugas ini penting sekali bagiku. Besok harus sudah masuk dosen pembimbing. Kalau tidak aku harus mengulang penelitianku tau!" Suara melengking tinggi yang sangat dikenalnya membuat Raka tertegun membatu. Itu suara Rini!
Jadi?
Raka tidak mendengar lagi cerocosan suara Rini di gawai. Pandangannya terpaku kepada Rini di depannya yang masih tersenyum. Makin lama makin lebar. Dilanjutkan dengan tawa panjang. Cekikikan.