Saya tidak pandai berpolitik dan selama ini juga saya selalu menghindari membahas tentang politik. Bagi saya politik identik dengan intrik dan saya tidak menyukai intrik. Itu seperti sebuah skenario di panggung drama bagaimana cara membuat penonton senang, pulang, dan bahagia telah membuang uang untuk nantinya kembali bertandang.
Tapi kali ini, saya meminta ijin kepada diri sendiri untuk sekedar menuliskan apa yang di hati. Cara-cara saya pribadi untuk menentukan pilihan seorang presiden di negeri yang saya cintai;
Setangguh Elang
Seorang pemberani yang tak mudah patah hati hanya karena angin bertiup terlalu kencang yang menyulitkannya terbang atau cuaca terlalu dingin untuk membiarkan para pengerat keluar dari persembunyiannya. Elang akan selalu terbang mengintai walaupun ada badai.
Baginya, simbol perkasa yang telah melekat lama pada dirinya tak akan dikacaukan hanya karena ancaman atau gertakan pada sarang tempatnya tinggal. Dia tidak pernah takut. Harga diri bangsa adalah segalanya. Lebih baik berkalang tanah daripada diperbudak oleh bangsa penjarah.
Segarang Harimau
Seorang presiden adalah penjaga negeri yang yang berdiri paling depan jika ada yang berniat menyakiti atau melukai. Dia harus menjadi pelindung yang garang bagi rakyatnya. Rakyat adalah anak-anaknya. Tidak boleh ada satupun yang boleh menyakiti dan berniat melukai.
Meskipun garang, seekor harimau sangat bertanggung jawab untuk tidak membuat anak-anaknya kelaparan. Mempertaruhkan nyawa memperoleh binatang buruan agar anak-anaknya bisa menyusu dan makan. Anak-anaknya adalah prioritas pertama baginya. Seperti juga jalan pikiran seorang presiden yang mengutamakan kepentingan rakyatnya dibandingkan golongan atau pribadinya.
Selembut Mega
Selain tangguh dan garang, seorang presiden pilihan saya harus mempunya daya empati yang tinggi. perasaan yang peka untuk menangkap apa-apa yang terjadi di kehidupan nyata rakyatnya.
Jikapun sang presiden mudah berairmata karena tahu ada rakyatnya yang lapar atau sakit tak kunjung sembuh, atau anak-anak tak bisa sekolah, maka saya akan memilihnya tanpa ragu-ragu. Airmatanya untuk duka yang tepat. Bukan airmata karena luka yang terlambat.
Bagi seorang presiden, lapar, sakit, dan bodoh atas rakyatnya adalah sepenuhnya tanggung jawabnya. Negara ada di pundaknya. Sekalipun harus terbungkuk-bungkuk menahan beban yang maha berat, dia akan tetap merengkuhkan pelukan pada rakyatnya yang kesulitan.
Seluas Angkasa
Presiden adalah orang terpilih yang linuwih. Wawasannya harus seluas angkasa. Tidak dibatasi bintang-bintang yang nampak saja. Tidak tergiur pada kemolekan bulan saja. namun juga paham bahwa di semesta ini banyak hal yang bisa dicari supaya bangsanya mandiri.
Tidak tergantung satu butir beraspun kepada bangsa lain. Tidak tergantung satu tetes minyakpun kepada bangsa lain. Tidak tergantung pada ujung lidah bangsa lain hanya untuk berkata atau menentukan sikapnya.
Sedalam SamuderaÂ
Presiden pilihan saya mempunyai hati sedalam samudera. Tidak mudah terpengaruh bisikan menyesatkan, provokasi tanpa kebenaran, dan terpancing pada pertengkaran. Di tangannya terletak nasib sekian ratus juta jiwa, sekian banyak agama, sekian banyak suku bangsa, dan sekian banyak golongan.
Kebhinekaan adalah kemanusiaan baginya. Prinsip yang akan selalu dipegangnya. Melindungi yang benar tanpa pandang bulu. Menghukum yang salah meskipun itu orang terdekatnya. Menegakkan keadilan setegak-tegaknya.
Matanya seruncing mata pedang. Sanggup melihat para pejabat yang khianat. Mampu menghukumnya tanpa basa-basi yang tak perlu. Atau pertimbangan kepentingan sana sini yang bukan merupakan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Akhirnya
Begitulah cara saya memilih presiden. Kelihatannya mengada-ada tapi benar begitu adanya. Nampaknya rumit tapi sesungguhnya sederhana.
Apakah dari 2 pilihan yang ada sekarang memenuhi semua hal yang saya pinta? Tentu relatif. Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi saya akan memilih yang paling mendekati kriteria saya. Saya sudah punya pilihan.
Hanya Tuhan, hati saya, dan bilik yang bisu yang akan menjadi saksi kepada siapa saya akan menjatuhkan pilihan.
Saya tidak ingin tidak memilih. Karena ini hak saya. Saya tidak mau menjadi orang yang membuta terhadap negara yang telah bersedia menerima tembuni saya di perut buminya. Juga negara yang kelak akan menerima jasad saya untuk dikubur pada tanah-tanahnya.
Bogor, 13 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H