Ketika pedih memerih hati
Itu pertanda bahwa jantung sedang dialiri rasa sunyi
Merindukan keramaian yang tidak sekedar gaduh
Mendambakan kegaduhan yang tidak sekedar ramai.
Berusaha melupakan dengan bercerita banyak tentang kejamnya cinta
Yang selalu membuat hati serasa terpenjara
Bertahun tahun lamanya.
Bab XIV
Pesisir Selatan-Pagi Hari. Â Putri Anjani menatap lautan lepas di depan matanya. Â Rasanya belum terlalu lama dia berada di sini bersama pemuda di sampingnya ini. Â Terbebas dari hukuman mengerikan di Pulau Kabut. Â Pemuda ini bertarung habis-habisan dengan Panglima Kelelawar agar mereka berempat saat itu bisa terbebas. Â
Mengingat ini, Putri Anjani tertawa dalam hati. Â Arya Dahana memang bodoh sekali. Â Seharusnya dia bisa bilang saja bahwa hutang nyawa mereka telah impas dan lunas. Â Dialah yang berjuang keras agar mereka semua bisa bebas.
Putri Anjani berpikir, jika hanya dia yang datang bertamu ke Pulau Kabut, belum tentu Panglima Kelelawar akan menyambut dirinya dengan baik. Tapi bersama Arya Dahana, Â dia yakin Panglima Kelelawar akan menghargai kedatangannya. Â
Panglima itu kalah dalam pertarungan adu kepandaian dengan pemuda ini. Â Sedikit banyak, Panglima Kelelawar akan bersedia membuka diri untuk berunding. Â Itulah mengapa dia menuntut Arya Dahana menemaninya ke sini.
Sambil berpikir tadi, mata Putri Anjani menjelajahi seputaran pantai. Â Tidak ada satupun perahu yang kelihatan. Â Bagaimana caranya agar mereka bisa ke Pulau Kabut? Â Lagipula menuju pulau itu tidak bisa dengan orang sembarangan. Â Harus ada penunjuk jalan. Â Pulau itu dilindungi mantra mantra gaib yang luar biasa hebat.Â
Dilihatnya Arya Dahana hanya duduk di pasir dan diam. Â Putri Anjani menjadi kesal.
"Arya, ayo carilah perahu. Â Kita harus pergi ke Pulau Kabut sebelum siang. Â Jika tidak, maka kita akan kemalaman."
Pemuda itu menoleh dengan asal asalan.
"Aku kan hanya menemanimu Putri. Â Bukan tanggung jawabku untuk mencari perahu atau bagaimana cara agar kita bisa menyeberang..."
Putri Anjani membelalakkan matanya.  Kurang ajar!  Pemuda ini menyebalkan sekali!  Tapi dia butuh pemuda itu.  Dia harus mengalah meski dadanya panas.  Gadis ini lalu menggerakkan tubuh berlari  sepanjang pantai untuk mencari perahu yang mungkin tersembunyi di suatu tempat atau cekungan. Â
Tidak ada tanda tanda sebuah perahupun.
Ini mestinya adalah wilayah kekuasaan Lawa Agung. Â Mungkin dia harus mencari desa terdekat untuk bertanya-tanya. Â Putri Anjani kembali ke tempat dimana Arya Dahana masih menunggu dengan santainya. Â Ditariknya tangan pemuda itu untuk bangkit lalu dipaksanya untuk mengikutinya pergi mencari desa atau kampung.
Butuh waktu beberapa jeda bagi mereka sampai akhirnya bertemu dengan kampung. Â Tapi kampung ini sepi sekali. Â Tidak nampak ada orang berkeliaran di luar rumah. Â Putri Anjani melongok setiap rumah. Â Ada beberapa orang yang berhasil ditemuinya. Â Tapi rata-rata hanya orang tua atau perempuan dan anak-anak. Â Mereka sama sekali tidak tahu bagaimana cara memperoleh tumpangan perahu pergi ke Pulau Kabut.
Putri Anjani menahan kejengkelannya yang makin memuncak. Â Ingin rasanya dia menghajar orang-orang bodoh ini! Â
Tapi dia sedang bersama Arya Dahana dan dia tahu pemuda ini pasti akan menentangnya. Â Dia menyadari bahwa dia masih kalah lihai dibanding pemuda ini. Â Selain itu, Arya Dahana bisa saja tidak mau lagi menemaninya jika dia bertindak keras terhadap orang-orang ini.
Akhirnya Putri Anjani memutuskan mereka kembali ke pantai dan menunggu. Â Siapa tahu ada perahu dari Lawa Agung yang mengantar orang atau mengambil sesuatu di pantai ini. Â walaupun ini hanyalah mencoba peruntungan saja, tapi dia tidak punya pilihan lain. Â Biarlah.
Dan peruntungan itu tiba menjelang siang. Â Sebuah perahu besar terlihat dari kejauhan menuju pantai ini. Â Putri Anjani hampir berteriak kegirangan. Â
Sudah pasti itu bukan perahu nelayan. Â Selain bentuknya yang besar dan gagah, ada bendera bergambar kelelawar hitam yang berkibar-kibar di ujung tiang layarnya. Â Perahu itu tidak sendirian! Â Putri Anjani hampir terlonjak saking kagetnya. Â Bermunculan perahu perahu lain di belakang perahu pertama. Â Bahkan berikutnya bukan cuma perahu. Â Kapal-kapal berukuran besar juga terlihat mengekor di belakang perahu perahu.
Wah! Â Itu adalah armada! Â
Mata Putri Anjani terbelalak lebar. Â Armada yang besar sedang berlayar menuju pantai. Â Ini pasti bukan main-main atau sekedar latihan. Â Bahkan setelah semakin mendekat, Â terlihat bahwa perahu dan kapal itu dipenuhi oleh pasukan perang. Â Bendera-bendera yang tadinya terlihat hanya kelelawar berwarna hitam, ternyata disertai bendera berkibar-kibar berwarna merah darah yang juga bergambar kelelawar.
Putri Anjani tidak tahu bahwa bendera berwarna merah itu artinya bagi kerajaan Lawa Agung adalah bendera peperangan. Â Dia hanya tahu bahwa sekarang mereka harus bersembunyi dahulu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Putri Anjani memberi isyarat kepada Arya Dahana agar ikut dirinya berlindung di balik sebuah batu karang besar yang menonjol di bibir pantai. Pemuda itu dengan malas-malasan mengikuti Putri Anjani bersembunyi.
Perahu yang berjumlah puluhan dan kapal yang berjumlah belasan itu sudah mendekati pantai. Â Ratusan orang berlompatan dari perahu berlari menuju pantai. Â Perahu-perahu itu tidak merapat namun kembali ke kapal kapal besar yang sudah membuang jangkar.Â
Perahu-perahu itu ternyata menjemput ratusan pasukan yang berada di atas kapal-kapal besar itu. Â setelah itu bergerak kembali ke pantai untuk menurunkan pasukan. Â Demikian berkali-kali dilakukan sampai akhirnya semua pasukan telah berbaris rapi di pantai menunggu pimpinan mereka yang semuanya berada di kapal paling besar. Â
Barisan pasukan yang akhirnya berjumlah ribuan itu berbaris di pantai tanpa suara sedikitpun. Â Benar benar penuh dengan kedisplinan. Â Baju seragam yang mereka kenakan semua berwarna hitam dengan gambar kelelawar di dada.Â
Akhirnya merapatlah dua buah perahu ke pantai. Â Berkelebatan bayangan-bayangan turun dari perahu perahu itu. Â Juga tanpa suara. Â Nampak Raja Iblis Nusakambangan, Hulubalang yang tersisa tiga orang, Lima Kobra Benggala, dan Nini Cucara berdiri gagah di depan ribuan pasukan.
Putri Anjani tercekat hatinya. Â Pasukan Lawa Agung dengan jumlah sebesar ini pastilah akan menyerang dan bukan sekedar latihan. Â Apalagi para pimpinan tertingginya semua hadir di sini. Â Kecuali Panglima Kelelawar tentu saja.
Raja Iblis Nusakambangan memberikan tanda kepada Hulubalang Kelabang. Â Yang diberi tanda kemudian memberi isyarat kepada beberapa orang yang memegang bendera berwarna merah hitam.
Orang-orang pembawa bendera ini kemudian menggerak gerakkan benderanya sebagai kode. Â Ribuan pasukan itu secepat kilat bergerak memasuki hutan-hutan yang berada di perbukitan di belakang pantai. Â Pergerakan mereka sama sekali tidak menimbulkan suara. Â Semua dilakukan dalam diam dan tertib.
Setelah semua pasukan bersembunyi dalam hutan untuk menunggu perintah, Raja Iblis Nusakambangan mengajak semua yang ada di situ untuk berkumpul dan berunding. Â Nini Cucara, Tiga Hulubalang, dan Lima Kobra Benggala berkumpul dan berdiri mengelilingi Raja Iblis Nusakambangan.Â
Putri Anjani menajamkan pendengarannya. Â Dia sangat penasaran apa yang akan dibicarakan oleh mereka. Â Sedari tadi gadis ini sangat takjub dengan pergerakan ribuan pasukan Lawa Agung sehingga melupakan Arya Dahana.
Gadis dari Laut Utara ini melotot jengkel melihat Arya Dahana dengan seenaknya tidur di tempat persembunyiannya. Â Gadis ini mencoba melupakan rasa sebalnya dengan berusaha sebaik-baiknya menangkap percakapan orang orang Lawa Agung.
"Jumlah pasukan mereka adalah dua ribu orang. Â Tidak cukup setanding dengan pasukan yang kita kirimkan ke garis depan dengan jumlah tiga ribu orang."
Suara orang ini sangat kasar. Â Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Nusakambangan pikir Putri Anjani.
"Bala bantuan dari ibukota kerajaan Galuh Pakuan akan cukup lama datangnya. Â Oleh karena itu, kita cukup punya waktu untuk merebut benteng pertama itu dengan mudah."
Sebuah suara melengking buruk Nini Cucara menimpali.
"Tidak ada tokoh-tokoh dari Garda Kujang yang ada di benteng itu. Â Aku dengar Pendekar Sanggabuana dan anggota padepokannya malah sudah meninggalkan benteng beberapa waktu yang lalu. Â Ki Mandara tidak ada di ibukota, tapi juga tidak berada di dekat dekat sini. Â
Biang sesat Ki Gularma yang menghamba pada Galuh Pakuan juga tidak diketahui keberadaannya.  Dewi Mulia Ratri yang merupakan tokoh silat Galuh Pakuan terhebat sekaligus pimpinan Garda Kujang Emas Garuda  belum beberapa lama meninggalkan benteng."
Hulubalang Kelabang menggeretakkan giginya dengan senang.Â
"Ini pekerjaan cukup mudah aku rasa. Â Kekuatan mereka bisa ditanggulangi oleh kekuatan kita....tokoh-tokoh Lawa Agung lainnya akan kita kerahkan untuk membuat mereka kocar kacir terlebih dahulu."
Raja Iblis Nusakambangan  tertawa terkekeh.  Tidak biasanya tokoh sesat ini hanya tertawa ditahan.  Biasanya dia akan tertawa terbahak bahak dan menyeringai buas.
"Ini berita bagus. Â Secepat kita menaklukkan benteng itu maka Galuh Pakuan akan tersudut dari sisi moral pasukan. Â Mereka akan kalah secara mental. Â Itu akan membuyarkan semangat. Â Bala bantuan dari ibukota tidak mungkin bisa cepat datang. Â
Kalaupun datang, kita masih sempat untuk mencegat mereka di perjalanan. Â Ha ha ha...kita buat Galuh Pakuan kesakitan, kita buat banjir darah pesisir selatan jika mereka datang....haaahhh!...."
Raja Iblis mendadak terhenti tertawanya. Â Tangannya dikebutkan ke arah batu karang tempat Putri Anjani bersembunyi.Â
"Dhaaaarrrrr...."
Pecahan batu berhamburan saat pukulan si Raja Iblis mengenai pinggiran batu. Â Pukulan yang dahsyat bukan main. Â Untungnya Putri Anjani sempat melompat keluar terlebih dahulu sebelum pukulan mengenai batu. Â Jika tidak, bisa saja dia terkena pecahan batu yang melesat kemana-mana. Â Gadis ini berlari ke arah orang-orang Lawa Agung sambil setengah menyeret Arya Dahana yang masih setengah tertidur.Â
Hati gadis ini luar biasa jengkel. Â Raja Iblis tadi bisa mencium keberadaan mereka karena Arya Dahana mendengkur!
Raja Iblis Nusakambangan dan kawan-kawan menatap lekat lekat Putri Anjani yang datang sambil menyeret Arya Dahana. Â Pemuda ini awalnya agak kebingungan saat Putri Anjani menyeretnya dengan kasar. Â Dia masih ngantuk sekali. Â Tapi setelah melihat mereka ternyata berhadapan dengan para gegedug Lawa Agung, kontan saja pemuda ini terbangun sepenuhnya.
"Hmmmm....lagi-lagi kalian. Â Mata-mata Galuh Pakuan! Â Kobra...Hulubalang...Nini...ayo kita habisi mereka sebelum mereka melarikan diri!"
Raja Iblis Nusakambangan berteriak marah sembari bersiap menyerang.
Putri Anjani mengangkat tangannya untuk mencegah mereka menyerang.
"Tunggu dulu Iblis! Â Aku kesini tidak bermaksud jahat. Â Aku justru hendak menghadap Panglima Kelelawar untuk menawarkan kerjasama. Â Kalian hendak menyerang benteng terdepan Galuh Pakuan...aku tak lagi peduli! Â Ijinkan aku menemui Panglima Kelelawar. Â Aku akan jelaskan semuanya."
Raja Iblis menahan serangannya. Â Ini berita baru. Â Putri dari Laksamana Utara ini adalah salah satu pimpinan tingkat tinggi dari Garda Kujang kerajaan Galuh Pakuan. Â Sekarang menawarkan kerjasama? Â
Jelas bahwa gadis ini tidak mengatasnamakan Galuh Pakuan, karena tadi terlontar kalimat tidak peduli terhadap benteng Galuh Pakuan. Â Lagipula daripada berkeringat dan berdarah bertempur dengan dua muda mudi yang sangat tangguh ini, terutama pemuda tengil yang sekarang dengan seenaknya duduk di sebuah batu, bukankah lebih baik menggiring mereka menjauhi daratan dan mengirim mereka ke Pulau Kabut.
Nini Cucara yang terlihat paling cerdas di antara mereka melihat raut muka Raja Iblis Nusakambangan. Â Nenek ahli sihir ini mengangguk anggukkan kepala tanda setuju. Â Si Raja Iblis melihat ini. Â Tokoh sesat ini lalu berseru.
"Baiklah Putri Anjani. Â Aku luluskan permintaanmu. Â Hulubalang....siapkan satu perahu untuk mengantar mereka berdua ke Pulau Kabut."
Hulubalang Kelabang menganggukkan kepala. Â Dia langsung mengantar Arya Dahana dan Putri Anjani menuju sebuah perahu yang segera saja mengantar mereka berdua menuju Pulau Kabut.
Perjalanan menuju pulau kabut kali ini agak nyaman. Â Tukang perahu hafal jalanan dan alur laut menuju pulau itu. Â Mereka tidak harus melalui banyak rintangan seperti saat mereka dulu mengendarai gelondongan kayu Maja.Â
Menjelang sore, mereka memasuki perairan yang sangat tenang dengan air seperti kolam. Â Kabut misterius juga mulai menyelimuti permukaan laut. Â
Samar samar bermunculan karang-karang besar. Â Tidak terlalu terlihat karena tertutupi oleh kabut yang semakin lama semakin menebal. Â Perairan ini sangat berbahaya bagi siapapun yang tidak mengenal alurnya. Â Putri Anjani bergidik. Â
Sehebat-hebatnya ilmu seseorang, jika kapal atau perahu mereka tenggelam di sini, dia tidak yakin orang itu bisa selamat. Â Selain airnya luar biasa dingin, juga karena perairan ini dipenuhi hewan-hewan buas lautan seperti ular laut dan ikan hiu. Â Â Â
Arya Dahana memperhatikan dengan seksama bagaimana perahu ini dengan lincah berbelok-belok di antara karang-karang yang tiba-tiba muncul di hadapan. Â Tukang perahunya menggunakan caping lebar dengan wajah ditutupi oleh kain penutup hingga hanya matanya saja yang terlihat. Â
Orang orang misterius yang menghuni sebuah pulau misterius. Â Kerajaan misterius dengan pimpinan misterius. Â Apalagi kerajaan misterius ini konon disokong oleh Ratu Laut Selatan. Â Sang Penguasa Laut Selatan. Â Pikiran Arya Dahana melayang-layang ke saat dimana dia dan Dyah Puspita pernah berjumpa dan berseteru dengan Ratu Gaib itu.Â
Betapa mereka dibuat tak berdaya sama sekali. Â Kemampuan ratu gaib itu tidak bisa ditandingi dengan ilmu kanuragan biasa. Â Terlalu banyak sihir aneh dan ajaib yang dimiliki oleh penguasa laut selatan itu. Â Dia teringat bagaimana Dyah Puspita membelanya mati-matian saat dia masih menderita penyakit aneh akibat hawa pukulan yang selalu membalik ketika dia diliputi kemarahan. Â
Ah Dyah Puspita...gadis yang sangat baik itu telah pergi meninggalkannya dengan cara yang luar biasa.
Lamunan Arya Dahana terputus ketika perahu mereka ternyata sudah sampai ke perairan hangat Pulau Kabut. Â Mereka sudah hampir berlabuh. Benteng dan Istana Lawa Agung yang megah itu sudah mulai nampak membayang dari kejauhan.Â
Begitu perahu menyentuh daratan di pelabuhan Pulau Kabut. Â Putri Anjani dan Arya Dahana melompat dengan sigap dan waspada. Â Ini kedua kalinya mereka ke sini. Â Dulu tanpa sengaja dan harus diakhiri dengan pertempuran dahsyat sebelum mereka diperbolehkan pergi. Â Sekarang entah apa lagi yang akan terjadi.
Arya Dahana sedikit merinding saat menghirup udara di Pulau Kabut ini. Â Rupanya mantra mantra gaib semakin diperkuat saja semenjak mereka terakhir kali kesini. Â Hawa dan baunya sungguh berbeda. Â Wangi melati sangat kuat sekali tercium.Â
Putri Anjani berjalan pelan menelusuri jalanan berbatu yang ditata rapi menuju istana Lawa Agung. Â Dia yakin sekali mereka sudah ditunggu di istana. Penjagaan tidak terlihat. Â Hanya tukang perahu itu saja yang berjalan menjadi penunjuk jalan mereka di depan.Â
Sesampainya di gerbang istana yang megah dan besar itu, mereka sudah ditunggu oleh seorang laki-laki paro baya dengan ikat kepala warna merah dan wajah sangar. Â Laki laki itu memberi isyarat agar mereka mengikutinya.Â
Melihat cara laki laki itu berjalan, Putri Anjani mengerutkan dahinya. Â Laki laki itu seperti melayang tanpa menapak tanah. Â Hanya jubahnya yang berkibar-kibar tertiup angin laut yang menandakan bahwa orang ini manusia betulan. Â Arya Dahana juga memperhatikan ini. Â
Pemuda ini sedikit terkesiap. Â Laki-laki di depan mereka ini mempunyai ilmu yang luar biasa tinggi. Â Terutama Ilmu Meringankan Tubuhnya. Â Dia harus waspada.
Memasuki pekarangan istana. Â Mereka sudah ditunggu oleh beberapa orang. Â Paling depan adalah Panglima Kelelawar sendiri. Â Berdiri disampingnya adalah dua orang wanita sangat cantik dengan pakaian ringkas warna hijau hijau. Â Arya Dahana seperti disengat kalajengking melihat dua wanita ini.Â
Tidak salah lagi. Â Mereka adalah dua orang pengawal pribadi Ratu Laut Selatan yang dulu pernah dijumpainya di pantai Plengkung bersama Dyah Puspita.
Wah ini semakin gawat saja. Â Dukungan Ratu Laut Selatan tidak hanya dalam hal mantra-mantra saja rupanya. Â Ratu gaib itu juga telah mengirimkan para pembantu kepercayaannya kepada Lawa Agung.
Putri Anjani memandangi sekeliling lalu menancapkan tatapannya kepada pria gagah tinggi besar berjubah dan berbaju serba hitam di depannya.Â
"Panglima Kelelawar, aku tidak mau banyak basa basi. Â Aku menawarkan sesuatu yang menarik kepadamu. Â Aku mempunyai rencana besar terhadap Majapahit. Â Aku tahu kau akhir-akhir ini banyak bergaul dengan Majapahit. Â Dan kau menyimpan dendam pada Galuh Pakuan."
Putri Anjani mengambil nafas dulu sebelum melanjutkan.
"Aku membentuk sebuah persekutuan besar bernama Persekutuan Pesisir Gugat. Â Persekutuan ini banyak diikuti oleh tokoh tokoh nomor satu dunia persilatan dan kerajaan kerajaan besar. Â Guruku Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni, Raja Tua Pengemis, Nyai Genduk Roban, Istana Timur, dan Blambangan. Â
Kau bisa bayangkan betapa hebatnya persekutuan ini jika Lawa Agung masuk di dalamnya. Â Kita mempunyai kepentingan masing masing. Â Namun musuh kita sama. Â Kau membantu persekutuan menjungkalkan Majapahit, maka persekutuan akan membantumu menguasai Galuh Pakuan."
Panglima Kelelawar mendengarkan semua penuturan Putri Anjani dengan seksama sembari memutar pikiran cerdiknya. Â Tawaran ini cukup menarik. Selama ini dia memang bersiasat bersekutu dengan Majapahit untuk memperkuat posisinya. Â
Galuh Pakuan adalah sasaran utama untuk ditaklukkan. Saat ini dia masih belum yakin dengan kekuatan pasukan maupun tokoh tokohnya. Â Persekutuan ini akan membuat Lawa Agung lebih cepat menggapai tujuannya menaklukkan Galuh Pakuan.
"Hmmm...tawaran yang cukup menggiurkan. Â Aku akan mempertimbangkannya. Â Apalagi ternyata kalian cukup berani untuk kembali ke tempat ini setelah apa yang kalian lakukan tempo hari.."
Putri Anjani tersenyum samar. Â Dia tahu bahwa dia telah berhasil mempengaruhi Raja Lawa Agung ini.Â
"Aku tidak menuntutmu untuk mengatakan iya sekarang panglima...aku merencanakan ada sebuah pertemuan rahasia pada purnama keduabelas saka ini di Istana Timur Bhre Wirabumi. Â Datanglah jika kau memang berniat bersekutu."
Panglima Kelelawar mengangguk pendek. Â Raja Lawa Agung ini lalu memerintahkan orang yang mengantarkan Putri Anjani dan Arya Dahana untuk mengantar mereka kembali ke daratan. Â Dia sengaja tidak mempersilahkan mereka untuk menginap. Â
Ada sebuah pertemuan maha penting malam ini dengan penguasa gaib laut selatan dan dia tidak ingin terganggu dengan adanya tamu. Â Selain itu sebenarnya dia cukup jerih dengan pemuda tengil yang sepertinya mengawal Putri Anjani ini.
Saat Putri Anjani membalikkan badan untuk pergi, Panglima Kelelawar teringat akan sesuatu.
"Putri Anjani....tahan sebentar. Â Aku ingin minta tolong kepadamu. Â Ini juga sebagai bagian syarat aku bergabung dalam persekutuanmu."
Putri Anjani menoleh pelan.
"Apa permintaan tolongmu panglima?"
Panglima Kelelawar menghela nafas sedikit panjang.
"Aku mempunyai anak angkat bernama Bimala Calya. Â Dia sudah pergi dariku mencari kehidupannya sendiri yang bersilangan denganku. Â Aku tidak peduli itu. Â Tapi dia pergi dengan membawa sebuah pusaka milikku. Â Sebuah alat tiup bernama Purajit. Â Carilah dia...temukan dan ambil pusaka itu untukku...dengan cara baik baik atau paksa.."
Putri Anjani teringat saat Bimala Calya nyaris saja membunuhnya dengan memanggil ratusan ribu kelelawar di markas perbatasan pasukan Galuh Pakuan. Â Berarti bunyi aneh sebelum ratusan ribu kelelawar itu datang berasal dari alat tiup yang dimaksud Panglima Kelelawar ini.
"Baiklah panglima. Â Aku akan mendapatkan kembali alat tiup Purajit itu untukmu. Â Karena itu datanglah saat pertemuan persekutuan di Istana Timur. Â Aku akan menyerahkan padamu pusaka itu di sana."
Panglima Kelelawar mengangguk puas. Â Putri Anjani adalah orang yang berkemauan keras. Â Dia pasti akan berusaha mendapatkan pusaka itu dengan berbagai cara. Â Panglima Kelelawar menyadari, bahwa Bimala Calya pastilah dalam bahaya. Â Tapi dia tak peduli. Â
Anak angkatnya itu sudah menyeberang ke pihak lain. Â Ini sekaligus hukuman baginya. Â Apalagi dia sangat memerlukan pusaka itu. Â Jika terjadi perang besar antar pasukan dengan jumlah ribuan, Â pusaka itu akan sangat berguna.
Setelah saling sepakat. Â Putri Anjani dan Arya Dahana melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan. Â Dimana sebuah kapal kecil sudah menunggu mereka untuk mengantar kembali ke daratan Jawa.
Perjalanan kembali ini jauh lebih cepat. Â Ini karena kapal yang mengantar mereka lebih besar dan mempunyai awak yang cukup banyak untuk mendayung kencang. Â Begitu mendarat dan telah menjejakkan kembali ke tanah Jawa, Putri Anjani bernafas lega. Â Dia tadi sebenarnya agak cemas sewaktu di Pulau Kabut. Â
Cemas kalau kalau Panglima Kelelawar yang susah ditebak sikapnya menolak lalu mengurung mereka di sana. Â Lalu berusaha mendapatkan keuntungan dengan merebut gendewa pusakanya. Â Untung saja ada Arya Dahana. Â
Terlihat sekali tadi Panglima Kelelawar segan terhadap pemuda tengil ini. Â Wajar saja. Â Dia pernah dikalahkan oleh pemuda ini dalam pertarungan yang sengit. Â Ini berarti keberadaan pemuda ini sangat berguna untuknya. Â Seperti yang sudah diduga sebelumnya olehnya.
Putri Anjani kemudian mengajak Arya Dahana melanjutkan perjalanan ke timur menuju Istana Timur. Â Arya Dahana tidak menolak, namun pemuda ini bersikukuh untuk lewat dan singgah di perbatasan Cipamali. Â Sesuai janjinya kepada Dewi Mulia Ratri. Â Putri Anjani tidak menentang. Â
Gadis ini akan mempertahankan agar Arya Dahana tetap menemani. Â Jadi dia berpikir tidak ada ruginya jika menuruti permintaannya selagi dia tetap memenuhi janji.
**************
Bersambung Bab XV
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H