Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

19 Desember 2018   11:55 Diperbarui: 19 Desember 2018   11:57 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab XIV

Pengorbanan tiada batas 
Dari cinta tak terbatas
Bukan hal yang sia sia
Bukan hal yang biasa saja
Karena berasal dari ketulusan
Dan itu lebih dari sebuah kebanggaan
Dari harga diri dan putihnya hati

 

Bab XV

Trowulan-Ibukota Majapahit.  Dyah Puspita sedang duduk di sebuah ruangan menghadapi sekumpulan orang yang disebut Dewan Pengadilan Kerajaan.  Dewan ini terdiri dari 3 tokoh Sayap Sima, 2 orang penasihat Raja, dan 1 orang penasihat Mahapatih, serta 1 orang pimpinan sidang yaitu ketua Tetap Dewan Pengadilan Kerajaan.  Ruangan itu sunyi senyap menunggu kedatangan sang ketua yang masih belum hadir. 

Di depan nampak meja setengah lingkaran yang diisi berjajar dari kiri ke kanan, Ki Tunggal Jiwo, 1 penasihat Raja bernama Nyai Ramini, 1 penasihat Mahapatih bernama Suyudana, bangku kosong untuk sang ketua sidang, Argani, Aswangga, dan 1 penasihat Raja bernama Mpu Barata.

Dyah Puspita mengedarkan pandangannya berkeliling.  Bertemu dengan mata ayahnya yang sedang menatapnya dengan sedih.  Dyah Puspita menundukkan kepala.  Ada rasa perih di hatinya sekarang.  Ayahnya memang laki laki yang keras dan tegas.  Dia tidak akan membelanya hanya karena dirinya anak orang tua itu.  Tapi dia akan membelanya mati-matian jika memang dirinya tidak bersalah sesuai bukti bukti di pengadilan. Dari semua mata yang sedang tertuju ke arahnya jelas jelas 4 pasang mata sudah memutuskan dirinya bersalah. 

Bayangan bayangan kemudian melintas deras di ingatannya.  Masa kecilnya yang tanpa ibu.  Ayahnya yang keras mendidiknya menjadi seorang putri sekaligus pendekar wanita, perjalanan penuh air mata duka dan tawa bahagia bersama Arya Dahana,  auman setia Sima Lodra.  Bayangan Arya Dahana lah yang sekarang menguasai pikirannya.  Masih hidupkah dia? Jika iya, apa yang sedang dilakukannya sekarang bersama Dewi Mulia?

Hatinya semakin pedih.  Dia tidak akan memberontak sedikitpun jika memang hukuman mati itu akhirnya tiba.  Dia mencintai negaranya.  Dia mencintai Arya Dahana.  Dia ingin berjumpa sekali lagi dengan pemuda itu dan mengatakan cinta untuk terakhir kalinya.  Ya Sanghyang Widhi...pertemukan aku lagi dengan dia sebelum aku menutup mata selamanya...pikir Dyah Puspita bertambah ngenes.

Akhirnya ketua dewan itu tiba.  Seorang tua berjanggut putih panjang yang sering disebut Hakim Dewa.  Seorang yang dikenal sangat keras namun bijaksana.  Sidang dimulai dengan tuntutan kesalahan yang disampaikan oleh Aswangga.

"Dyah Puspita telah melakukan kesalahan besar dengan menjadi pengkhianat negara.  Membela anak seorang buronan, melawan sesama Sayap Sima dan membantu musuh negara, melarikan diri dari tugas, melalaikan jabatannya dan menolak menyerah beberapa kali.  Sesuai dengan kadar kesalahannya maka tuntutannya satu.  Hukuman mati!"

Wajah Ki Tunggal Jiwo sejenak mengeras lalu memucat.  Tokoh keras hati ini tetap terdiam di tempat duduknya.  Hakim Dewa mengangkat tangannya sambil berbicara lantang.

"Tuntutan telah disampaikan.  Aswangga, apakah andika punya bukti atau saksi untuk memperkuat tuntutan itu?"

Aswangga tersenyum senang,

"Tentu saja Yang Mulia, saya sendiri, Argani, Madaharsa dan banyak dari pasukan Sayap Sima yang menyaksikan pembangkangannya."

Hakim Dewa menoleh kepada Argani yang mengangguk dengan pasti, kemudian menatap ke depan kursi kursi saksi yang diisi oleh beberapa orang berbaju khas Sayap Sima.  Orang orang itu juga mengangguk tanpa ragu.

"Tunggu dulu!" 

Sebuah suara menggelegar merambah ruangan itu.  Disusul suara pintu yang dibuka dengan keras.  Masuklah tubuh raksasa Maesa Amuk dengan wajah merah menahan amarah.

"Ini tidak adil!  Gadis itu menyerah baik baik dan mau dibawa ke sini dengan sukarela.  Hukuman mati tidak pantas untuk kesalahan yang belum pasti.  Aku tahu siapa kalian Argani dan Aswangga.  Bajingan licik yang suka mencari muka!!"

"Jika hukuman mati tetap dilaksanakan, aku akan melawan kalian semua sampai mati!" teriak tokoh berangasan itu meluap luap.

Hakim Dewa kembali mengangkat tangannya," Maesa Amuk, kau tenanglah.  Hormati pengadilan ini.  Baiklah...siapa saja yang setuju gadis ini bersalah?"

4 tangan teracung ke atas.  Seperti yang sudah diduga oleh Dyah Puspita. Aswangga, Argani, Suyudana, dan Mpu Barata mengangkat tangan mereka.

"Dan siapa yang tidak setuju bahwa gadis ini bersalah?" Hakim Dewa melanjutkan pertanyaannya.

Ki Tunggal Jiwo dan Nyai Ramini mengangkat tangannya.  2 lawan 4.  Hakim Dewa menghela nafas panjang.  Semua mata tertuju kepadanya sekarang. Keputusan terakhir ada di tangan Hakim Dewa karena suara pecah dan tidak bulat.  Maesa Amuk menahan nafas sambil bersiap siap menerjang ke depan.

"Setelah mempertimbangkan tuduhan dan saksi saksi, bersama ini diputuskan bahwa Dyah Puspita bersalah telah melalaikan tugas dan mengutamakan kepentingan pribadinya.  Oleh karena itu sidang memutuskan....Dyah Puspita dikirim ke garis depan di perbatasan Blambangan untuk memimpin peperangan melawan pasukan Blambangan di bawah pengawasan Ki Tunggal Jiwo.  Sidang juga memutuskan bahwa sekali Dyah Puspita melanggar keputusan ini, maka Ki Tunggal Jiwo sebagai pengawas harus melaksanakan hukuman mati baginya....dengan ini sidang ditutup!"  Hakim Dewa mengetukkan palu di meja tanda keputusan sudah disahkan.

Ki Tunggal Jiwo menghela nafas lega sambil mengangguk penuh terimakasih kepada Nyai Ramini dan Hakim Dewa.  Dyah Puspita terlihat tidak berlega hati.  Dia harus maju perang melawan Blambangan.  Tanah kelahiran Arya Dahana.  Dia tahu Arya Dahana pasti akan membela Blambangan jika ada di sana pada saat perang meletus.  

Tidak mungkin dia bertemu Arya Dahana sebagai musuh.  Terlalu banyak kenangan manis yang tertulis di hatinya bersama pemuda itu.  Kenangan manis yang akhirnya menggoreskan tinta cinta di hatinya.  Tapi dia harus menghormati keputusan itu. Hakim Dewa diam diam membela dan membebaskannya dari hukuman mati.  Dyah Puspita mengeraskan hatinya.  Dia akan berangkat ke perbatasan Blambangan.  Dia hanya berharap Arya Dahana masih bersama Dewi Mulia Ratri di Alas Roban.

Hari itu juga Dyah Puspita dengan diawasi Ki Tunggal Jiwo berangkat ke perbatasan Blambangan disertai dengan Aswangga, Argani, Maesa Amuk, Dua Siluman Lembah Muria, Bledug Awu Awu dan ratusan pasukan Sayap Sima. 

Sebelumnya memang sudah dititahkan oleh Mahapatih Gajahmada.  Blambangan harus segera ditaklukkan.  Kekuatan yang dibangun sekarang semakin membesar.  Terlalu beresiko bagi Majapahit jika hal itu terus dibiarkan.  Gangguan yang ditimbulkan oleh armada bajak laut di laut selatan semakin hari semakin menjadi.  Pasukan laut yang diterjunkan belum mampu menjinakkan anggota Raja Iblis Nusakambangan itu.  Istana Laut Utara juga belum bisa ditaklukkan.  

Terlalu banyak faktor alam yang melindungi pulau tersebut.  Pulau yang sangat aneh.  Karena meskipun cuaca sedang terang dan bukan musim angin, namun begitu memasuki perairan pulau tersebut, cuaca berubah dengan cepat.  Badai, gelombang dan ratusan karang menjadi benteng alam yang luar biasa tangguh bagi siapapun yang ingin menyerbu Pulau Utara.  Selain itu, utusan yang dulu pernah dikirim oleh Majapahit ke Negeri Seberang untuk membicarakan perdamaian dan persekutuan, tidak pernah kembali.

Sementara Blambangan sudah semakin kuat saja.  Telik sandi mengabarkan bahwa, ratusan pasukan Istana Laut Utara terlihat berkeliaran di perbatasan Garahan.  Entah darimana dan kapan datangnya.  Anggota perkumpulan Malaikat Darah yang berjumlah ribuan juga sering terlihat mondar mandir berlatih di sekitar lembah Raung.  Telik Sandi tidak bisa mengetahui dengan pasti di mana letak markas persekutuan itu.  Semuanya begitu tersembunyi. 

Telik sandi Majapahit juga tidak bisa mengetahui secara pasti.  Siapa saja tokoh tokoh hebat yang sekarang berkumpul di sekitar perbatasan Garahan. Hutan lebat itu seperti tertutupi oleh kabut misteri yang turun dari puncak Gunung Raung.  Hutan itu sekarang seperti dilindungi secara misterius oleh pasukan tak kasat mata.

Mahapatih yang terkenal itu lalu memutuskan untuk mengakhiri semua dengan memusatkan kekuatan di perbatasan Garahan dan bersiap menyerang saat semuanya telah siap.  Jika perbatasan Garahan bisa ditembus, maka laju pasukan menuju ibukota Blambangan tidak akan bisa dihentikan.

***************
Bersambung Bab XVI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun