Wajah Ki Tunggal Jiwo sejenak mengeras lalu memucat. Â Tokoh keras hati ini tetap terdiam di tempat duduknya. Â Hakim Dewa mengangkat tangannya sambil berbicara lantang.
"Tuntutan telah disampaikan. Â Aswangga, apakah andika punya bukti atau saksi untuk memperkuat tuntutan itu?"
Aswangga tersenyum senang,
"Tentu saja Yang Mulia, saya sendiri, Argani, Madaharsa dan banyak dari pasukan Sayap Sima yang menyaksikan pembangkangannya."
Hakim Dewa menoleh kepada Argani yang mengangguk dengan pasti, kemudian menatap ke depan kursi kursi saksi yang diisi oleh beberapa orang berbaju khas Sayap Sima. Â Orang orang itu juga mengangguk tanpa ragu.
"Tunggu dulu!"Â
Sebuah suara menggelegar merambah ruangan itu. Â Disusul suara pintu yang dibuka dengan keras. Â Masuklah tubuh raksasa Maesa Amuk dengan wajah merah menahan amarah.
"Ini tidak adil! Â Gadis itu menyerah baik baik dan mau dibawa ke sini dengan sukarela. Â Hukuman mati tidak pantas untuk kesalahan yang belum pasti. Â Aku tahu siapa kalian Argani dan Aswangga. Â Bajingan licik yang suka mencari muka!!"
"Jika hukuman mati tetap dilaksanakan, aku akan melawan kalian semua sampai mati!" teriak tokoh berangasan itu meluap luap.
Hakim Dewa kembali mengangkat tangannya," Maesa Amuk, kau tenanglah. Â Hormati pengadilan ini. Â Baiklah...siapa saja yang setuju gadis ini bersalah?"
4 tangan teracung ke atas. Â Seperti yang sudah diduga oleh Dyah Puspita. Aswangga, Argani, Suyudana, dan Mpu Barata mengangkat tangan mereka.