Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Muka Cinta

24 November 2018   20:19 Diperbarui: 24 November 2018   20:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan dihentikan. Memberikan kesempatan pada senja yang tertatih-tatih memberangkatkan dirinya. Menuju kegelapan.

"Apalagi yang kita tunggu Ram. Kau tahu aku bukan perempuan sesabar rembulan. Mengikuti ketentuan apakah mesti menyabit atau menampakkan purnama. Atau menghilang sama sekali. Aku lebih mirip angin. Ketika aku ingin membadai, menderulah aku. Aku cabut pohon-pohon yang menghalangi jalanku. Ketika aku ingin menidurkan anak gembala yang kesepian, sepoi-sepoi lah aku. Aku akan membuatnya tertidur dengan nada serulingnya yang masih menggemakan rasa pilu."

Shinta berkalimat panjang seperti sedang bersajak. Rama sedikit tersentak. Ingin marah tapi ditahannya. Lelaki itu lebih memilih menuliskan sesuatu di layar laptopnya.

Shinta menghunjamkan belati dari sudut mulutnya yang sedari tadi telah disiapkan untuk memburu jawaban Rama.

"Aku memang lemah Ram. Tidak sekuat putaran bumi. Tapi setidaknya aku masih satu orbit denganmu. Aku menagih janjimu."

Rama tetap tidak menjawab. Lelaki itu hanya memutar layar laptopnya menghadap ke arah Shinta. Shinta memperhatikan. Beberapa bait puisi tertera di sana. Menunggu dibaca.

aku berjanji untuk mengajakmu merantai badai
aku berjanji untuk membawamu menyusur di mana akhir garis pantai
aku berjanji untuk membuatkanmu rumah di sebuah ngarai yang landai
aku akan memenuhi janjiku
tapi jangan usik aku dengan riuh-rendah isi kepalamu

Shinta melengos. Lalu berkata lirih. Seperti kepada dirinya sendiri.

"Seandainya saja aku dulu menyerah kepada cinta Rahwana. Tentu tak akan begini jadinya. Aku serasa menjadi nista karena menjadi peminta-minta cinta."

Setelah tidak mendengar jawaban apapun dari Rama, sambil menunduk Shinta melanjutkan keluh kesahnya. Lebih lirih lagi. Tetap ditujukan kepada dirinya sendiri.

"Rahwana ternyata lebih bisa dipercaya jika bicara tentang cinta. Sedangkan kau Rama, tak lebih baik dari seekor serigala yang lupa pada malam yang membesarkannya." Shinta mengangkat kepalanya. Kali ini tidak berharap jawaban. Dia sudah sampai pada puncak rasa putus asa.

Matanya bertemu dengan mata menyala lelaki di hadapannya yang memandangnya sembari tersenyum hangat, mengangsurkan ronce daun kemangi, matanya menyiratkan keteguhan tak tertandingi, mata Rahwana yang memandangnya dengan kesungguhan cinta sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun