"Aku bosan menunggu Ram. Menunggu tak hanya membuatku jemu, tapi menimbulkan banyak kerusuhan di kepalaku," seorang perempuan memandang lurus laki-laki di depannya dengan tatapan tajam.
Lelaki yang dipanggil Ram mendengus kecil. Menyingkirkan layar laptop dari depan matanya. Gantian menatap.
"Di dunia ini hanya ada 2 hal yang bisa kita lakukan selain menunggu. Berhadapan atau melarikan diri. Itu saja pilihan yang tersedia Shin."
Shin melepaskan tatapan kepada Ram. Lelaki itu terlalu pintar mengelak dengan kata-katanya. Pandai berkelit.
"Harus berapa lama lagi Ram? Menunggu kita diberangkatkan batu nisan?" kali ini sarkasme dilontarkan untuk mengusik harga diri Ram.
Kembali Ram mendengus. Kali ini lebih kencang,"kau berlebihan Shin. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan waktu. Ini masalah ketetapan dan keyakinan. Sesederhana itu. namun juga sesempurna itu."
"Jadi kau memilih menghadapinya atau melarikan diri Ram?" Shinta terus mendesak dengan pertanyaan setajam paku.
"Hmm, tentu menghadapinya. Kau pikir melarikan diri itu lebih mudah daripada menghadapinya? Kau salah Shin."
"Tapi kau tidak terlihat berniat menghadapinya Ram. Malah kelihatan kalau kau sedang menghindarinya," tuntut Shinta berkeras.
Ram menutup layar laptopnya. Menusuk lembut mata Shinta dengan ucapannya. Rama memang selalu lembut.
"Aku...akan...menghadapinya...paham?"
Perbincangan dihentikan. Memberikan kesempatan pada senja yang tertatih-tatih memberangkatkan dirinya. Menuju kegelapan.
"Apalagi yang kita tunggu Ram. Kau tahu aku bukan perempuan sesabar rembulan. Mengikuti ketentuan apakah mesti menyabit atau menampakkan purnama. Atau menghilang sama sekali. Aku lebih mirip angin. Ketika aku ingin membadai, menderulah aku. Aku cabut pohon-pohon yang menghalangi jalanku. Ketika aku ingin menidurkan anak gembala yang kesepian, sepoi-sepoi lah aku. Aku akan membuatnya tertidur dengan nada serulingnya yang masih menggemakan rasa pilu."
Shinta berkalimat panjang seperti sedang bersajak. Rama sedikit tersentak. Ingin marah tapi ditahannya. Lelaki itu lebih memilih menuliskan sesuatu di layar laptopnya.
Shinta menghunjamkan belati dari sudut mulutnya yang sedari tadi telah disiapkan untuk memburu jawaban Rama.
"Aku memang lemah Ram. Tidak sekuat putaran bumi. Tapi setidaknya aku masih satu orbit denganmu. Aku menagih janjimu."
Rama tetap tidak menjawab. Lelaki itu hanya memutar layar laptopnya menghadap ke arah Shinta. Shinta memperhatikan. Beberapa bait puisi tertera di sana. Menunggu dibaca.
aku berjanji untuk mengajakmu merantai badai
aku berjanji untuk membawamu menyusur di mana akhir garis pantai
aku berjanji untuk membuatkanmu rumah di sebuah ngarai yang landai
aku akan memenuhi janjiku
tapi jangan usik aku dengan riuh-rendah isi kepalamu
Shinta melengos. Lalu berkata lirih. Seperti kepada dirinya sendiri.
"Seandainya saja aku dulu menyerah kepada cinta Rahwana. Tentu tak akan begini jadinya. Aku serasa menjadi nista karena menjadi peminta-minta cinta."
Setelah tidak mendengar jawaban apapun dari Rama, sambil menunduk Shinta melanjutkan keluh kesahnya. Lebih lirih lagi. Tetap ditujukan kepada dirinya sendiri.
"Rahwana ternyata lebih bisa dipercaya jika bicara tentang cinta. Sedangkan kau Rama, tak lebih baik dari seekor serigala yang lupa pada malam yang membesarkannya." Shinta mengangkat kepalanya. Kali ini tidak berharap jawaban. Dia sudah sampai pada puncak rasa putus asa.
Matanya bertemu dengan mata menyala lelaki di hadapannya yang memandangnya sembari tersenyum hangat, mengangsurkan ronce daun kemangi, matanya menyiratkan keteguhan tak tertandingi, mata Rahwana yang memandangnya dengan kesungguhan cinta sejati.
Shinta menghela nafas bahagia. Akhirnya. Lelaki yang dicintainya itu menunjukkan muka yang sesungguhnya.
Sedari tadi dia bicara dengan lelaki bermuka Rama. Namun yang dinantinya tentu saja lelaki yang sama namun bermuka Rahwana.
Bogor, 24 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H