Prolet terkikik geli. Berita ini lucu sekali. Masa ada orang babak belur, biru lebam, dihajar habis-habisan di klinik kecantikan. Oleh dokter khusus kecantikan. Bukannya tambah terlihat cantik, tapi malah nampak seperti habis terjatuh naik motor di tikungan.
Kemudian setelahnya terjadi keributan. Seantero negeri saling geram dan baku kecam. Duuhh, Prolet miris. Negerinya ini seperti pasar. Saling berteriak menjajakan dagangan tapi banyak sekali yang mengurangi timbangan.
Ah sudahlah, lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Sekarang hampir akhir bulan. Sebentar lagi gajian. Semua payroll harus selesai sebelum tenggat waktu. Kalau molor, alamat seisi kantor akan menyumbangkan isi kebun binatang ke Prolet. Prolet nyengir lagi membayangkan itu.
Sebetulnya semua sudah selesai. Draft sudah dibuat, Pak Adm juga sudah tanda tangan. Hanya tinggal menunggu tanda tangan Tuan Putri saja. Ini masalahnya. Tuan Putri sedang cuti. Kalau dihitung sampai hari ini mungkin sudah lebih dari 10 hari.
Kemana sih Tuan Putri? Kenapa gak ada kabar ya? Biasanya yang lalu-lalu kalau sedang cuti dia selalu mengabari sedang berada di mana atau sedang apa. Ini sama sekali tidak. Prolet cemas.
Meskipun hubungannya dengan Tuan Putri lebih banyak antara staf dengan atasan tapi keduanya tahu ada semacam ikatan yang belum terdefinisikan di sana. Prolet paham dan banyak diam. Sedangkan Tuan Putri tidak diam cuma angin-anginan. Kali ini Prolet tersenyum getir. Hubungan yang aneh nian.
Prolet beranjak ke pantry. Haus. Lagipula sepertinya dia perlu kopi panas. Prolet menahan langkahnya sebelum masuk. Ada suara gaduh di dalam.
"Benarkah? Ah Sahwat, aku tidak percaya! Kamu adalah produsen hoax nomor satu di kantor ini." Itu suara Bos Kecil.
"Ya ampun Bapak. Saya tidak bohong. Berita ini A1 langsung dari sumbernya," suara Sahwat berusaha meyakinkan.
"Sumbernya? Langsung dari Tuan Putri? Ah masa sih?" Dari nadanya Bos Kecil tetap tak percaya. Namun ada sedikit nada provokasi supaya Sahwat melanjutkan ceritanya.
"Benar Pak. Tuan Putri sebelum cuti sempat bicara ke saya bahwa cutinya akan lama karena akan mengurus en...geg..men gitu. Saya langsung cari di kamus online Pak. Itu artinya pertunangan." Sahwat terlihat begitu bangga dengan beritanya.
Terdengar suara-suara lemah riuh rendah di ruangan pantry. Prolet membatalkan niatnya. Berita yang disebarkan Sahwat membuat perutnya mendadak melilit sakit. Dia tidak perlu kopi saat ini. Dia hanya perlu tali. Prolet menggerutu pada pikirannya sendiri sembari berlalu.
Jadi Tuan Putri mau tunangan? Duh! Terus selama ini sikapnya yang manis terhadapnya itu apa? Duh lagi!
Rasanya ini kedua kalinya Prolet mendengar kabar Tuan Putri akan bertunangan. Dulu dia sempat juga merasakan perasaan yang sama seperti ini. Semacam patah hati. Atau tepatnya remuk hati. Sebab Prolet merasa hatinya menjadi berkeping-keping. Bukan patah menjadi dua.
Tapi dia bisa apa? Toh dia bukan siapa-siapa Tuan Putri. Prolet menguatkan hatinya dengan berbagai cara. Kalaupun Tuan Putri benar-benar tunangan, dia berniat akan pulang kampung. Menemani simbok sambil merekatkan kembali keping-keping hatinya yang berantakan. Prolet merasa menjadi lelaki paling malang se alam semesta.
----
Hari Senin pagi. Prolet memarkir motor setengah tuanya di parkiran kantor dengan jantung berdebar-debar. Hari ini kabarnya Tuan Putri masuk kerja. Bagaimanapun, meski Sahwat dengan brutal terus menyebarkan berita pertunangan Tuan Putri, Prolet tetap merasakan debaran yang sama seperti sebelum ada berita itu.
Semangatnya adalah menyelesaikan payroll. Sudah itu saja. Patah hati itu masalah nanti. Masih banyak perempuan dunia ini. Tidak hanya Tuan Putri. Prolet membesarkan hatinya dengan berlagak sombong dan songong.
Prolet sudah menyiapkan semua berkas untuk ditandatangani Tuan Putri. Tuan Putri ada di ruangan bersama tunangannya. Pria bule yang gagah dan tampan. Ini berita terbaru dari Sahwat yang baru saja sengaja singgah ke meja Prolet untuk mengabarkan palu kematian bagi cinta Prolet.
Meskipun ragu-ragu dengan kemampuannya dalam menerima pemandangan yang memilukan nanti, Prolet tetap mengetuk pelan ruangan Tuan Putri.
"Masuk," sebuah suara yang selalu diibaratkan Prolet sebagai nada paling merdu dalam orkestra menyahut dari dalam.
Prolet masuk dan meletakkan semua berkas yang mesti ditandatangani Tuan Putri di atas meja. Kepalanya menunduk seperti burung Dekuk yang sakit tengkuk.
"Prolet, aku minta tolong secara khusus boleh ngga?"
Masih dengan wajah menunduk, Prolet menjawab kikuk,"bol.. boleh Tuan Putri. Tuan Putri perlu apa?"
"Aku dan Pierre pengen makan gado-gado Mak Somah. 1 pedas dan 1 sama sekali ngga pedas yah. Aku sudah promosi ke Pierre ini makanan asli Indonesia yang mantap. Aku tidak mau nyuruh Sahwat. Takut salah-salah. Kamu lah yang paling tahu seleraku. Terimakasih Prolet."
Oh jadi namanya Pierre. Prolet mengangguk dan buru-buru keluar ruangan. Matanya sempat menyinggahi sebentar orang yang disebut Pierre itu. Hah! Memang ganteng sekali! Prolet merasakan jantungnya pindah ke perut.
----
"Mak, gado-gado 2 bungkus ya? Biasa pesenan Tuan Putri." Prolet dengan lemas memesan makanan kepada Mak Somah. Mak Somah berdehem pendek. Melirik sebentar ke wajah Prolet yang kuyu. Tumben ni bocah kaya baju kaga disetrika.
Pesanan selesai. Prolet membayar dan mengucapkan terimakasih kepada Mak Somah kemudian menstart motornya. Tumben ni bocah kaga ngasih tip. Uang pas. Mak Somah tersenyum maklum. Mungkin tu bocah lagi ada masalah.
Prolet meletakkan piring dengan hati-hati di atas meja Tuan Putri. Sudah menjadi kebiasaannya. Dia yang beli harus dia sendiri yang menghidangkan. Tuan Putri sedang meeting di ruang sebelah. Bersama Bos Kecil dan Pak Adm. Hanya nampak Pierre yang menyapa hello dan thank you kepadanya. Prolet tersenyum samar sambil berlalu dari ruangan. Prolet jelas cemburu.
Sore sebelum semua karyawan pulang, Tuan Putri memerintahkan semua berkumpul di ruang rapat utama. Haduh, ini pasti pengumuman tentang pertunangan. Prolet makin kalut.
"Hari ini hari besar bagi perusahaan kita. Saya ingin berterimakasih kepada semuanya yang telah berkontribusi terhadap kemajuan perusahaan," Tuan Putri membuka pidatonya secara normatif.
"Saya ingin mengumumkan satu hal penting kepada kalian semua. Sebuah berita gembira," Tuan Putri berhenti sebentar. Nah, ini dia, uh. Prolet merasa batinnya mulai mengeluarkan darah.
"Setelah engagement dan perundingan selama berhari-hari di Perancis. Perusahaan kita mendapatkan suntikan dana segar dari perusahaan multinasional di bawah pimpinan Bapak Pierre!" Tuan Putri mendahului bertepuk tangan. Disambung dengan tepuk tangan yang sangat meriah dari semua yang hadir.
Sebuah ketukan lalu pintu terbuka. Pierre masuk sambil tersenyum lebar. Wajahnya yang tampan nampak begitu merah. Bahkan matanya berkaca-kaca. Terlihat sembab seperti habis menangis. Tuan Putri terheran.
"Kamu kenapa Pierre? Wajahmu merah sekali. Dan matamu juga kenapa? Kelilipan?"
Pierre menyahut sambil mengelapkan tisu ke hidungnya yang terus berlelehan ingus.
"Aku tidak apa-apa Madame. Aku makan habis gado-gado pesenanmu. Enak tapi pedas bukan main!" Kembali Pierre mengelap ingusnya.
Prolet yang tadinya mendapatkan jantungnya kembali ke tempat semula setelah mendengar pengumuman yang menyenangkan dari Tuan Putri, bahwa itu semua bukan tentang pertunangan tapi engagement kerjasama dengan perusahaan lain, mendadak pucat pias. Ya ampuun, aku lupa memberitahu Mak Somah kalau 1 bungkus gado-gadonya harusnya tidak pedas sama sekali. Akibatnya menjadi seperti itu terhadap Pierre.
Prolet melemparkan permohonan maaf melalui tatapan mata memelas kepada Tuan Putri yang memang sedang memandangnya dengan penuh pertanyaan. Sekaligus geli nampaknya.
Prolet menghela nafas. Cemburunya salah alamat. Malah terlampiaskan pada gado-gado pedas. Maaf ya Pierre.
Bogor, 4 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H