Burung-burung keluar dari mulutmu. Mengalunkan bahagia yang ada di ujung mata. Melihat pantai di hadapanmu ternyata masih ada. Meninggalkan rumah kecomang yang masih utuh tak menghilang. Lepas dari usikan lidah gelombang, maupun usilan ludah berang-berang.
Kau mengakui bahagia semakin terasa di dada. Burung-burung yang keluar dari mulutmu bahkan bernada major tentang cinta, yang bergantian dengan nada minor tentang punahnya airmata. Rumah kecomang itu dulu kau bangun ketika hari-harimu masih sering dilanda pasang. Menerjang tepian jiwa dengan semena-mena. Membuatmu mengira bahwa dunia ini dibangun dari keping-keping petaka.
Pagi ini kau membuat pernyataan bahagia secara sederhana. Dengan cara melepas burung-burung yang dulu disangkar paksa oleh waktu. Melalui mulutmu yang mulai bisa membentuk senyuman kupu-kupu. Cantik tapi tetap malu-malu.
Bahagia itu bagimu mungkin separuh dari surga. Tergelincir dari tempatnya semula. Menjatuhi atap rumahmu. Menujumu yang bahkan tak tahu apa itu sesungguhnya rindu. Sedari dulu.
Oleh karena itu kau demikian terkejut. Burung-burung yang keluar dari mulutmu mula-mula begitu takut-takut. Menduga ini semua lelucon dari takdir. Memberinya rencana mimpi yang indahnya cuma terlampir. Dan kemudian lagi-lagi membaringkanmu pada titik nadir.
Tapi mendengar irama burung-burung yang keluar dari mulutmu. Sanggup melapisi semua udara yang bisu dengan begitu banyaknya rindu. Aku yakin itu memang irama bahagia. Karena aku pun ternyata ikut terjaga.
Jakarta, 22 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H