Tergambar sebuah lukisan. Â Dalam angan-angan seorang lelaki pemimpi yang rindu pada mimpinya sendiri. Â Di sana ada jajaran bintang. Â Menyerupai seorang dara yang matanya sedang menggenang. Â Dalam bentuk danau berlinang-linang.
Senja tak jauh lagi. Â Tapi di jam ini masih terasa pagi. Â Langit mematung beserta separuh birunya. Â Laut terpaku bersama setengah pasangnya. Â Masing-masing separuhnya menjelma jadi kabut. Â Merahasiakan semua misteri cinta secara runut.
Mosaik lamunan disusun bersusun seperti rumah susun. Â Lantai dasarnya adalah lamunan yang cukup megah. Â Begitu menaiki tangga demi tangga, tingkat demi tingkat, maka lamunan itu berubah menjadi jengah. Â Sesampainya di puncak bangunan, lamunan itu akhirnya lelah.Â
Mosaik lamunan tak mungkin bisa digambar. Â Semuanya jelas namun abstrak. Â Segalanya nampak berwarna tapi sesungguhnya hitam putih adanya.
Lelaki pemimpi yang berkali-kali mendesak dirinya sendiri dalam ruang-ruang mosaik lamunan. Â Adalah lelaki pendamba kejadian bahagia. Â Pada pagi dia berkata; kau adalah cinta. Â Pada senja dia berucap; kau tak salah alamat. Â Pada malam dia menggumam; kau alasan bagiku untuk berjuang.
Terhadap waktu, yang merupakan salah satu takdir penentu, lelaki itu menuliskan kalimat penyeru; Cinta tak pernah salah alamat sehingga layak untuk diperjuangkan hingga ada kata tamat.
Mosaik lamunan lelaki itu dilipat kembali dengan rapi
Besok dia akan membukanya kembali
Juga lusa
Dan hari-hari selanjutnya
Sampai bertemu bahagia yang sesungguhnya
Kapan saja
Di manapun juga
Jakarta, 21 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H