Di dalam mimpi. Â Aku menenggelamkan diri. Â Mimpi ini tentang telaga. Â Berikut pohon-pohon besar berjajar di sisinya sebagai penjaga. Di pinggirannya, seorang pertapa termangu di atas batu. Â Bersekutu dengan waktu. Â Sama-sama memutuskan untuk gagu.
Di permukaan telaga. Â Aku menuliskan ingatan apa saja yang ada di sana. Â Kecipak halus air diterjang ikan-ikan yang baru saja ditetaskan, sekumpulan teratai yang berusaha sekuat tenaga menangkap sisa rintikan hujan, juga nyanyian katak bersahutan tentang kasih yang bertautan.
Di antara pohon aku terpekur. Â Seumpama aku ini lemur, tentu aku sudah memanjat untuk sampai ke puncak. Â Dari sana aku bisa melepaskan luasnya tatapan. Â Pada mosaik sungai-sungai yang memeluk pinggang gunung, pada ladang yang ditinggalkan kemudian ditumbuhi ilalang, pada sawah yang pematangnya patah sehingga air keruh tumpah ruah.
Di hadapan pertapa itu aku mengamati. Â Sesungguhnya apakah yang dicari. Â Sunyi ada di mana-mana. Â Sepi tak lari kemana-mana. Â Kenapa harus mendaki, jika lebih nyaman menuruni. Â Kenapa harus berenang, jika tepian landai sudah disediakan, kenapa harus mengheningkan cipta, jika dalam upacara saja masih disibukkan dengan bisik-bisik dan tawa.
Ini adalah mimpi tentang telaga yang dijaga pertapa. Â Pada sebuah episode cerita mengenai orang-orang yang menemukan pencariannya.
Bogor, 21 September 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H