“sebuah pertanyaan, sejauh apa puisi sanggup merajut hati?”
“pertanyaan tidak tepat. Hati bukan dirajut tapi digelayut.”
“pertanyaan diulang, bagaimana menenun sebuah puisi agar tercipta lembaran yang penuh arti?”
“puisi hanya bisa ditenun menggunakan serat kain yang dipanasi matahari. Itu berarti lembarannya perlu kehangatan. Bukan sekedar mempertontonkan keindahan.”
“berikutnya, apakah sebuah puisi bisa menghidupkan hati yang nyaris mati suri?”
“tentu bisa. Asalkan pada puisi itu ditiupkan ruh cinta.”
“bagaimana jika ruh itu justru berasal dari jiwa yang runtuh?”
“tak mengapa. Jiwa yang runtuh bisa kembali ditegakkan dengan niat yang utuh.”
“bagaimana jika keutuhan itu ternyata dibumbui dendam. Seperti dendam angsa yang kehilangan danaunya. Akibat kekeringan di gunung-gunung yang dipenggal lehernya?”
“maka lahirlah puisi cantik yang biadab.”
“bagaimana jika keruntuhan tetap terjadi. Seperti runtuhnya lautan akibat gelombangnya dirajam plastik yang membukit?”
“maka bangkitlah puisi tentang bumi yang sedang sakit.”
“bagaimana jika langit mendadak rubuh karena terlalu diberati peluh akibat luka-luka baru yang terus menerus tumbuh di pipinya yang dikuruskan matahari?”
“maka terciptalah puisi tentang langit yang mesti segera disediakan peti mati.”
“bagaimana jika peti mati itu tak cukup kuat untuk membawa langit ke akhirat?”
“maka segera ditiupkan puisi sangkakala menyambut hari kiamat.”
“jikapun begitu, apa yang membuat kita bisa selamat?”
“Tidak ada. Bersiap-siaplah saja berhitung neraca. Sisi mana yang lebih berat.”
Bogor, 3 September 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI