Lelaki itu menadahkan pendengaran. Â Mendengarkan desir jarum jam berjatuhan. Di dinding kamarnya yang mendadak sesempit kuburan. Â Mungkin dia serasa diburu oleh waktu. Â Detik demi detik berlalu, tapi rasanya masih belum beranjak seinchipun dari tempat yang sama seperti dahulu.
Lelaki itu merasa jalan yang dilaluinya berliku-liku. Â Langkahnya berlelaku tak ubahnya menabur warna ungu di langit biru. Â Menanam garam yang diperolehnya dari perasan keringat di lautan. Â Lalu menyadari semuanya tak lebih dari percuma yang dipaksakan.
Seandainya aku betul-betul bajingan. Â Barangkali aku lebih tenang. Â Tak perlu menyaru menjadi kupu-kupu. Â Hanya agar bisa menghirup harum bunga sepatu. Begitu katanya sambil mengusap lelehan kekesalan. Â Dalam sebuah tulisan tentang kekacauan.
Kalau aku diberikan pilihan menjadi apa dari perangkat kecil zaman. Â Mungkin aku memilih menjadi saputangan. Â Menyeka duka di pelupuk yang terluka. Menghapusnya bukan sebagai airmata. Â Tapi sebagai pertanda ringan masih hadirnya perasaan. Â Dalam carut marutnya kericuhan. Â Lanjutnya sambil memejamkan mata. Â Membayangkan betapa indahnya jikalau bisa menggenggam cuaca. Â Lalu mengaduknya dalam sebuah rencana kemarau kehujanan. Juga hujan kepanasan. Â Berbarengan.
Lelaki itu sepertinya menggila dengan pikirannya. Â Menyeduh sedikit cuka. Â Mencampurnya dalam kopi tanpa gula. Â Berharap sangat bisa menghadirkan rasa tak biasa. Â Sebab hidup dirasanya biasa-biasa saja.
Bogor, 1 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H