Kau hamburkan kata tepat di mukaku; Pagi sudah bertambal-tambalan, masih kau tambah dengan sobekan baru. Kau memang perencana ulung dalam menimbulkan kerusuhan. Pagi yang tenang, kau sundut dengan hati jalang. Pagi masih setengah terpejam, sudah kau tusuk dengan mata nyalang.
Lihat! Pagi makin berlubang-lubang!
Kau melanjutkan segenap kutukan; rumput-rumput yang dimahkotai embun itu, laksana kain tenun yang dilapisi mutiara. Tapi kau hanya menganggapnya sebagai air liur yang menetes dari sudut mulut Hyena. Daun cemara saling memilin dengan lengan kabut yang tak terlihat, seperti sebuah pelukan antara kekasih yang memutuskan untuk menautkan kehendak. Tapi kau cuma mengira itu sebagai airmata yang sedang merebak.
Lihat! Pagi nampak begitu rusak!
Tidak berhenti sampai di situ. Kau lemparkan seringai cantik dari rumpun bambu yang sedang bergelut dengan kelembutan angin yang berlalu. Suara yang ditimbulkan seindah Gending Asmaradana. Gending agung yang hanya keluar ketika putri raja sedang jatuh cinta. Kau bilang; ini adalah persembahan terbaik dari pagi. Tapi kau hanya menatap gagap dan mendengar dengan telinga pengar. Alangkah barbar!
Aku lantas menunduk. Merasakan segenap diri merunduk. Kemudian membisikkan rutuk; jika aku perusak pagi, sesatkan aku dalam labirin sunyi. Aku berjanji, tak akan keluar dari sana walaupun kau iming-imingi kesempurnaan mimpi.
Bogor, 4 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H