Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Negeri Tulang Belulang (Pantai Penuh Lava)

27 Juni 2018   13:51 Diperbarui: 27 Juni 2018   13:49 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Untuk sesaat keheningan menerkam.  5 orang team ekspedisi itu menahan nafas.  Dari kejauhan terdengar suara menggeram-geram.  Rendah namun mengancam.  Seekor burung yang mirip dengan burung Nazar namun berukuran 10 kali lebih besar sedang mengoyak daging seekor burung jenis lain yang menggelepar tapi belum mati.  Burung seukuran burung onta itu sedang dijagal.

Ternyata, burung pemangsa itu tidak sendirian.  Ada beberapa lagi di tempat-tempat yang cukup berjauhan.  Semuanya sedang makan.  Rupanya padang tulang-tulang ini sebuah tempat perjamuan. 

Cindy terkesiap mendengar sebuah desir keras dari udara yang seolah menuju ke arahnya.  Kemudian, buuuummm!  Sepotong bangkai Banteng besar dijatuhkan tidak jauh dari mereka.  Semua orang merunduk.  Bersembunyi di antara semak rapat.  Mereka yakin sesuatu yang menjatuhkan bangkai itu akan menyusul.

Wusssss. Benar saja.  Seekor burung besar mirip burung Nazar mendarat tepat di atas potongan bangkai Banteng.  Mengoyak daging keras itu begitu mudahnya dengan paruhnya yang setajam pedang.  Burung itu seperti tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang mengamatinya dengan jantung berdebar kencang.

Ini terlalu dekat!  Pikir Ran cemas.  Pria ini memberi isyarat tanpa suara kepada teman-temannya untuk bergeser menjauh.

Terlambat!  Burung raksasa itu mengoak keras sambil berjalan ke arah mereka.  Wajah semua orang pucat pasi.  Ran memang memegang senapan.  Tapi semua ragu apakah senapan itu berguna untuk burung sebesar itu.

Bagaimanapun Ran tetap mengokang senapan mengarah kepala si burung raksasa.  Tidak ada mangsa yang mudah, batin Ran menguatkan hati.  Burung itu sengaja berjalan perlahan-lahan mendekati tempat persembunyian.  Seperti layaknya pemburu yang mempermainkan hati mangsanya.  Suasana hening dan tegang.

Mendadak terdengar desir angin yang keras bertubi-tubi.  Dari langit bermunculan burung-burung serupa terjun ke tempat itu.  Bukan mengarah kepada mereka namun menyerbu langsung pada potongan bangkai Banteng yang tergeletak.

Burung yang sedang memburu team ekspedisi itu seperti disadarkan.  Berbalik arah dan menerjang 4-5 burung yang sudah memulai pesta makan daging.  Kericuhan besar tak terhindarkan.  Burung-burung itu saling serang menggunakan cakar dan paruh.  Suara koak dan kepakan sayap membuat debu dan pasir beterbangan.  Pertempuran mengerikan berlangsung sengit.

Ini kesempatan!  Cindy memberi tanda kepada teman-temannya untuk mengikuti.  Setelah berputar menjauh dari arena pertempuran, Cindy berjalan cepat memasuki padang tulang-tulang yang menakutkan itu.  Teman-temannya ikut di belakang.  Tanpa banyak bertanya atau bicara.

----

Setengah berlari, kelima orang itu melintasi padang tulang-tulang.  Cindy menjadi andalan sepenuhnya kemana kira-kira arah yang tepat untuk dilalui.  Tidak mendekat ke lokasi burung-burung besar itu pesta makan.  Alhasil pelarian mereka berkelok-kelok tidak karuan.

Padang itu begitu luas.  Setelah sekian lama, belum juga setengah jarak yang ditempuh.  Karena kelelahan, meskipun adrenalin terpacu begitu rupa, akhirnya Cindy berhenti.  Bukan dia yang lelah.  Tapi teman-teman prianya nampak kehabisan nafas.

Mereka berhenti di tengah-tengah padang.  Kebetulan ada sebuah batu besar yang bisa melindungi mereka dari terik yang mulai menggantang.  Ran ragu.  Di balik batu besar itu terdapat sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki tubuh manusia.  Dia teringat ular besar yang diceritakan Tet.

Tapi Cindy meyakinkan Ran bahwa di dalam lubang itu tidak terdengar suara yang mencurigakan.  Entah itu lubang apa tapi yang jelas lubang itu kosong.  Ran percaya.  Yang lain juga percaya.  Tapi nuansa ketakutan tetap kentara di mata mereka.  Mereka berada di antara pasrah dan berserah.  Situasi ini layak disebut sebagai terjebak di bubu ikan hiu.

----

Setelah merasa cukup beristirahat, Ran memberi komando teman-temannya untuk lanjut.  Perjalanan masih setengah lagi dan mereka tidak tahu apa yang menunggu mereka di sisa perjalanan ini.

Belum juga langkah diayunkan.  Cindy tiba-tiba meletakkan telunjuk di mulutnya.  Semua orang tercekat.  Ada apa lagi ini?  Cindy menunjuk ke suatu arah.

Di kejauhan terlihat beberapa bayangan kecil berlari kencang menuju mereka.  Sementara di langit burung-burung besar itu meluncur memburu bayangan itu.  Begitu mendekat, orang-orang baru sadar bahwa yang berlari menuju mereka adalah beberapa ekor kelinci seukuran anjing gembala.  Ran dan teman-temannya bingung mesti bagaimana.  Apakah kelinci-kelinci itu juga berbahaya?

Tanpa berpikir panjang Cindy memimpin teman-temannya memasuki lubang di depan mereka.  Jelas sekali bahwa kelinci-kelinci itu sedang menyelamatkan diri menuju lubang ini.  Bukan menuju mereka.  Lubang seukuran manusia itu cukup lebar di dalamnya.  Kalaupun mereka harus berdesakan dengan para kelinci itu tidak masalah.  Masih cukup leluasa.

Terjadilah situasi yang menggelikan itu.  Begitu mereka berlima sudah di dalam lubang.  Berduyun-duyun kelinci besar itu masuk.  Dari 4 ekor yang berusaha masuk, hanya 3 ekor yang berhasil.  Kelinci terakhir menjerit nyaring setelah tubuhnya disambar dan dicengkeram oleh burung raksasa itu dan dibawa mengudara.

Suasana di dalam lubang terlihat aneh.  3 ekor kelinci itu meringkuk di sudut lubang terdalam tanpa berani bergerak.  Sementara 5 manusia di hadapan mereka terlihat terbengong-bengong keheranan memperhatikan ukuran mereka.  Kelinci seukuran anjing gembala adalah satu hal aneh yang mengejutkan.  Kalau tidak bisa dibilang menakutkan.

Namun suasana itu tidak berlangsung lama.  Setelah mendengarkan apa yang terjadi di luar lubang, Cindy memutuskan mereka agar segera berangkat.  Mumpung burung pemangsa itu sedang makan.  Lebih bagus jika mereka buru-buru lari.

-----

Team ekspedisi itu kembali setengah berlari meninggalkan lubang yang telah menyelamatkan mereka.  Tet sampai lupa dia berniat memotret kelinci raksasa itu saking tegangnya. 

Dari kejauhan, mata Cindy yang luar biasa tajam sudah mendengar debur ombak lautan.  Gadis yang gerakannya selincah kucing ini mempercepat langkahnya.  Tidak sadar bahwa teman-temannya semua kepayahan menjajari langkahnya. 

Bukan tanpa alasan Cindy mempercepat langkah.  Di belakang mereka ada yang mengejar!  Entah apa karena Cindy belum melihat.  Bukan burung-burung itu.  Tapi intuisinya mengatakan bahwa yang mengejar mereka ini adalah sesuatu yang tidak kalah berbahayanya.  Cindy sengaja tidak mau memberitahu teman-temannya supaya tidak terjadi kepanikan.  Panik akan membuat mereka jauh lebih cepat lelah.  Padahal pantai sudah ada di depan mata.

Dan sampailah mereka!  Namun kegembiraan urung terjadi.  Pantai di depan mereka terhalangi sesuatu yang lain lagi.  Sebuah sungai selebar 10 meter.  Sungai yang mengepul panas.  Karena sungai di depan mereka ini adalah sungai lava!  Gila!

----

Bogor, 27 Juni 2018

Selanjutnya; Negeri Tulang Belulang (Badai)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun