Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kota yang Berlumut

17 Juni 2018   12:15 Diperbarui: 17 Juni 2018   12:26 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Para perantau yang datang dari berbagai penjuru desa dan pelosok itu turun dari terminal, stasiun dan bandara.  Hanya untuk terperangah.  Takjub dan sedikit ngeri.  Kota yang mereka datangi ini berbeda dengan kota-kota lainnya. 

Gedung dan menara tinggi memang berderet rapi.  Jalanan lebar dan rata.  Pohon-pohon perindang tumbuh subur di pinggiran jalan, taman-taman, perumahan dan pekarangan perkantoran.  Stasiun, terminal dan bandara begitu megah dan mewah.

Tapi ada yang aneh.  Dari setiap sudut bangunan, pojokan jalan, ujung gang, dan fasilitas umum, tumbuh lumut berwarna hijau.  Lumut-lumut itu merambati dinding.  Belum semua.  Tapi terlihat bahwa ekspansi lumut itu tak akan berhenti.

Terlihat para petugas berpakaian khusus berusaha keras menghentikan pertumbuhan lumut itu. Dengan berbagai cara.  Disemprot larutan khusus, dikerok manual, sampai dengan dipanasi menggunakan pemanas portabel.

Para perantau itu belum beranjak dari tempatnya.  Menyaksikan kegaduhan di sana sini.  Penduduk kota sepertinya bersiaga penuh.  Seolah-olah ekspansi lumut itu seberbahaya serbuan zombi.

Para perantau itu tetap berdiam di tempat.  Ragu-ragu.  Mulai teringat pada sawah dan ladang di desa.

-----

Kejadian itu bermula belum lama.  Semenjak kawasan industri dibangun di tengah kota.  Pabrik-pabrik raksasa beroperasi 24 jam sehari.  Memproduksi barang-barang kebutuhan manusia.  Sabun, minyak wangi, makanan, pakaian, kendaraan, hingga barang elektronik.

Setiap hari ratusan bahkan ribuan cerobong pabrik itu menguarkan asap tebal bergumpal-gumpal ke angkasa.  Pemandangan langit di pagi, siang dan malam hari sama saja.  Kelabu hitam.  Seakan warna biru dan putih sudah punah di kota ini.

Kota itu seperti ditelungkupi oleh kaca.  Semakin hari cuaca semakin panas.  Hujan tetap turun sesuai musim.  Tapi warnanya tak lagi jernih.  Kusam menghitam.

Tak lama kemudian hawa berubah total.  Ketika suhu udara diperkirakan di atas 35 derajat cekcius, kota mendadak mendingin.  Suhu terjun bebas menjadi di bawah 15 derajat celcius.  Para ahli mengira semua itu fenomena alam biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun