Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reinkarnasi (Bab 2)

6 Mei 2018   11:05 Diperbarui: 6 Mei 2018   11:12 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: id.aliexpress.com

Raja tersadar. Menatap bingung ke arah Citra lalu ke lukisan yang lenyap bergantian. Raja teringat sesuatu. Gadis yang baru dikenalnya ini bernama Dyah Pitaloka Citra Resmi. Persis nama panjang puteri Galuh Pakuan yang bunuh diri di hikayat Perang Bubat tempo dulu.

Meski masih dalam kondisi setengah kebingungan, Raja memberanikan diri menggandeng Citra. Menariknya keluar ruangan dengan tergesa karena dilihatnya mata direktur museum mulai memandang wajah Citra penuh selidik.  Gawat! Pikir Raja.

Citra hanya tersenyum tipis ketika Raja setengah berlari menyeretnya keluar museum. Direktur museum mengikuti terus dengan ujung matanya.  Mengambil HP dari sakunya dan menelepon seseorang.

------

Raja melambaikan tangannya ke arah taksi yang kebetulan lewat di depan mereka. Pintu taksi terbuka. Raja mendorong Citra segera masuk lalu menyorongkan pantat di jok belakang. Taksi melaju dengan cepat setelah Raja memberi isyarat dengan tangannya.

Bersamaan pula dengan berlariannya beberapa orang dari museum sambil berteriak-teriak,

"Stop!...heiiii stop! Hentikan taksi itu!"  Namun taksi yang ditumpangi Raja dan Citra telah lenyap dari pandangan di lalu lintas yang cukup lengang.

Direktur museum mengambil nafas panjang lalu meraih lagi HP-nya, menekan sebuah nomor dan berkata lirih,

"Mada, sepertinya tuah manuskrip kuno itu mulai terjadi.  Hati-hati.  Pertahankan sejarah sebisamu kawan..."

Di seberang, lawan bicaranya hanya mendengus berat.

-----

Raja menghentikan taksi sebelum Gedung Sate. Setelah membayar tanpa mengambil uang kembalian, bergegas pemuda ini turun sambil tetap menggandeng Citra yang celingukan. Raja berbelok memasuki sebuah jalan kecil, tembus di jalan besar lagi. Berbelok memasuki sebuah cafe tempat ngopi yang baru buka sore ini.

Mengambil tempat di pojokan. Raja menarik tempat duduk buat Citra lalu menjatuhkan pantatnya yang terasa pegal. Fiuuhh, sore yang mendebarkan.

Citra masih celingukan memandangi panorama sekitar ruangan. Kaget saat Raja menggamit lengannya.

"Citra, coba lihat aku.  Benarkah yang kau katakan tadi bahwa namamu Dyah Pitaloka Citra Resmi? Lalu kau menyebut nama lengkapku Rajasanagara dengan tepat.  Apakah kau hanya menebak-nebak saja?"

Citra memejamkan mata sejenak. Menatap tajam mata Raja sambil berkata,

"Itu memang nama asliku Raja dan aku tidak menebak nama lengkapmu. Aku tahu."

Raja membetulkan debar di jantungnya.

"Jadi....siapa sebenarnya dirimu Citra? Apakah..apakah...?"  Raja belum mampu melanjutkan pertanyaan yang sudah menggantung di ujung lidahnya.

"Aku apa Raja? Aku Dyah Pitaloka Citra Resmi.  Itu namaku." Citra menjawab lirih sambil tersenyum misterius.

"Maksudku, apakah kamu itu..ehm.  Dyah Pitaloka yang itu?" Raja tergagap-gagap.

Citra tergelak.  Giginya yang putih rata seperti pualam membuat sore serasa mengkilap bagi Raja. 

"Aku haus Raja.  Bisakah kita pesan sesuatu untuk diminum?" Citra terkesan menghindar untuk menjawab.

Raja mengangguk.  Menelan rasa penasaran yang masih berkobar di hatinya.  Dipanggilnya pelayan yang sedari tadi menunggu dengan setia di sudut sambil memegang buku menu.

------

Direktur Museum duduk berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar berperawakan gagah. 

Laki-laki itu membuka pembicaraan,

"Direktur Suma, manuskrip kuno itu sekarang sama siapa?  Terus disimpan di mana?" suaranya terdengar berat.

Direktur Suma menghela nafas. Tidak langsung menjawab namun malah menghampiri meja kerjanya dan membuka laci. Diambilnya sebuah piagam.

"Ada di perkumpulan ini Mada.  Disimpan di sebuah rumah di Puncak Bogor. Tempatnya sangat dirahasiakan oleh mereka. Aku tidak termasuk dalam lingkaran dalam mereka.  Jadi tidak tahu persis di mana letak rumah itu," panjang lebar Direktur Suma menjelaskan.

Laki-laki yang dipanggil Mada membaca piagam yang terlihat cukup tua itu dengan seksama.  Trah Pakuan tertulis sangat jelas di piagam tersebut.  Dikembalikannya piagam sambil berdiri.

"Direktur Suma tidak perlu terlalu risau saat ini.  Jangan sampai perkumpulan itu tahu bahwa lukisan Putri telah muksa di museum ini.  Keadaan akan makin gaduh jika mereka tahu.  Apalagi kalau sampai Situs Bubat berhasil ditemukan.  Sejarah bisa dibalik dan masa ini akan menjadi chaos."  Setelah menyelesaikan kalimatnya Mada langsung bersalaman mohon diri kepada Direktur Suma.

------

Raja menahan ketawanya ketika melihat Citra terbelalak dan hampir tersedak saat meminum soda gembira.  Diambilnya tisu dan diangsurkannya di meja depan Citra.  Gadis itu kembali minum sambil menahan diri agar tidak tersedak. Haus rupanya. Raja mau tak mau memperhatikan. Berjaga-jaga jika ada sesuatu yang terjadi kepada gadis itu karena minuman bersoda.

Citra adalah perempuan tercantik yang pernah dilihat Raja. Kulitnya halus seperti mutu manikam. Matanya seindah kejora di langit tak berawan.  Wajahnya yang rupawan selalu membentuk senyum. Gadis yang ramah. Pikir Raja mulai terpesona. Jantungnya berdebar, hatinya mendadak pengar.  Tak peduli lagi pada sekitar.

Tiba-tiba cafe menjadi gaduh. Serombongan anak muda memasuki ruangan sambil berteriak-teriak tidak sopan.  Enam pemuda dan dua pemudi.  Berdelapan mereka mengambil tempat duduk tidak jauh dari Raja dan Citra.

Salah seorang dari pemuda itu menatap Citra dengan cara yang kurang ajar.  Dua temannya yang lain mengikuti sambil bersiul menggoda.  Raja memerah mukanya. Hampir saja dia berdiri untuk memperingatkan jika tidak ditahan oleh Citra yang menggelengkan kepala tidak setuju.

"Wuiihh cantiknya!  Sayang ada monyetnya..."

"Iya yah.  Kalau tidak, bisa kita ajak gabung sama kita."

"Ha ha ha ha....."

Ketiga pemuda itu terang-terangan menunjukkan ketertarikan kepada Citra yang hanya tersenyum mengejek.  Namun malah makin tampak manis saja mukanya.  Raja nyaris tidak bisa menahan diri.  Tangannya terkepal namun Citra mengedipkan mata menahannya untuk tetap duduk.  Gadis ini mengibaskan sedikit tangannya ke arah ketiga pemuda kurang ajar itu.

Raja yang tadinya marah bukan main kini terbengong tidak karuan.  Ketiga pemuda itu tetap membuka mulutnya menyerocos namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar.  Hanya ah uh tidak jelas.  Tentu saja teman-temannya yang lain terheran-heran.  Apalagi setelah ketiganya mulai menari-nari persis monyet di hadapan mereka. 

Suasana menjadi hening seperti ada serombongan setan sedang berkabung lewat di depan mereka.  Ketiga pemuda itu terus saja menari seperti monyet.  Terlihat jelas bahwa ini di luar kuasa tubuh mereka karena mata ketiganya mengecil ketakutan dengan tubuh bergerak-gerak tidak bisa dikendalikan.

Raja menoleh ke arah Citra.  Dilihatnya gadis cantik itu tetap tersenyum namun sekilas ada kilatan merah di matanya yang bening.  Raja yakin sekarang....

------

Bersambung.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun