Benak orang-orang dirusuhi keinginan, bermacam-macam
dari hal sederhana hingga sempurna
Tidak sekedar mengisi perut dan bersendawa
Termasuk bagaimana harus tertawa dan mentertawakan
Adalah bagian dari kebutuhan
Orang-orang termakan zaman
Digerogoti dari kepala hingga ujung kaki
Rambutnya berapi, menyala setiap hari
Wajahnya berdaki, sulit dikenali
Detak jantungnya berlipat kali, mengejar lusinan mimpi
Hatinya mendingin cepat, seperti musim dingin kedinian
Langkahnya justru melambat, tersandung kaki yang sengaja disilangkan
Pada akhirnya, zaman akan menelan bulat-bulat sejumlah rasa manusia yang semestinya selalu ada. Â Tidak perlu disebutkan karena langsung ketahuan begitu muncul banyak berita mengenai hutan disulap menjadi sawah, lautan berbau minyak tumpah, gunung-gunung botak dari pinggang ke bawah, orang-orang bermatian karena perang dan wabah.
Sesungguhnya, zaman tak lebih dari putaran waktu yang direka sendiri menjadi panggung drama.Â
Hanya saja, tiang-tiang panggungnya dibuat dari kayu rapuh kesukaan anai-anai.
Sesudahnya, panggungnya roboh, drama tidak selesai, waktunya belum usai.
Jadilah, para pelakonnya terjuntai dihempas badai.
Namun, zamanlah yang dituduh sebagai pelaku yang lalai.
Jakarta, 18 April 2018