Pagi baginya adalah bagian awal dari dimulainya kericuhan. Â Dia ingin merubah mimpi agar selalu membuatnya bahagia di alam nyata. Â Seperti misalnya cemara di hadapan rumahnya.Â
Dalam mimpi pohon itu menari. Â Dilihatnya sekarang sama sekali tidak bergerak. Â Meski dia tahu angin sedang mampat. Â Dia tidak terima. Â Khayalannya mulai bekerja. Â Memusatkan pikirannya. Â Cemara itu meliuk-liukkan tubuhnya. Â Menarikan rampak gendang bersama dengan kamboja di sebelahnya. Â Dia puas dan terlihat bahagia.
Setelah mandi dan menyegarkan tubuh, dia teringat pada bagian lain dari mimpinya. Â Dia berjumpa bidadari. Â Bidadari itu terlihat begitu sedih. Â Dia ingin bertanya apakah selendangnya hilang dicuri. Â Tapi ditahannya pertanyaan. Â Paling penting sekarang adalah membuat bidadari itu tersenyum lagi.
Dia lalu berusaha melucu di hadapan wanita kekasihnya yang sedang bersedih. Â Wanita itu tertawa lepas. Â Entah karena dia memang lucu atau wanita itu berusaha menghargainya. Â Tapi tak apa. Â Paling tidak kekasihnya itu tak sedih lagi. Â Berubah tidak sama dengan mimpinya tentang bidadari yang murung.
Apalagi ya mimpi yang belum dibuatnya nyata. Â Dia mencoba mengingat-ingat semua. Â Ah, ibunya!Â
Di dalam mimpi ibunya datang membawa seikat kembang. Â Tersenyum penuh kasih seterang pualam. Â Lalu berkata lembut penuh kasih sayang;
Kembang ini kembang setaman anakku. Â Aku petik di tepian surga untukmu agar kamu tak lupa bahwa pilihan itu hanya dua. Â Surga atau neraka.
Hal yang jarang terjadi. Â Itu membuatnya meneteskan airmata. Â Dia tidak mau merubah mimpi yang ini.Â
------
Hari ini persediaan mimpinya sudah habis. Â Semua tuntas dirubahnya bahagia. Â Dia akan mulai mimpi lagi nanti malam.
Sore ini dia bersiap-siap. Â Mimpi adalah sesuatu yang istimewa baginya. Â Dia tidak mau persiapannya terlalu sederhana.Â