Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seseorang yang Menyenangi Kematian

18 Maret 2018   20:37 Diperbarui: 18 Maret 2018   21:00 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruangan itu adalah ruangan di mana tangisan dan caci maki berkumpul. 

Begitu pintu dibuka dan ranjang yang membawa sebujur tubuh kaku berselimut putih didorong masuk, meledaklah tangisan orang-orang yang merasa kehilangan.  Menggerung-gerung tak karuan.  Dalam hati mereka yang menangis, bagaimana aku bisa hidup tanpamu.  Dalam hati tubuh kaku itu,  barangkali mati malah membebaskanku.

Tak jauh waktunya dari jenazah pertama, jenazah kedua dibawa masuk oleh petugas yang sama.  Lelaki berwajah tirus dengan muka pucat.  Barangkali sama pucatnya dengan mayat yang berjajar di dalam.  Datar.   Sedatar meja marmer tempat autopsi ruang sebelahnya.

Sebelum sempat masuk ruangan.  Serombongan orang berlarian mengejar jenazah kedua.

"Bajingan!"

"Pembunuh tak berhati.  Mampuspun rasanya masih ingin kubunuh!"

"Bangsat seperti itu mati berapa kalipun aku tidak rela!"

Rupanya jenazah kedua adalah jenazah seorang pembunuh.  Mati ditembak polisi ketika mencoba melarikan diri saat ditangkap.  Orang-orang yang berteriak tidak terima adalah keluarga korban yang dibunuhnya.

Setelah orang-orang kalap itu berhasil dihalau oleh petugas keamanan, suasana berubah tenang.  Petugas kamar jenazah memasukkan jenazah ke dalam.  Masih dengan muka pucat dan datar.  Menunggu telepon untuk menjemput jenazah berikutnya. 

Hari ini hanya ada dua.  Dia butuh paling tidak lima supaya muka pucatnya menjadi ceria.  Dia sangat menyukai kematian.

-----

Ruangan itu dingin sekali.  Dua kali lipat dingin ruangan lainnya.  Petugas itu duduk kaku di kursinya.  Kepanasan.  Mengamati satu demi satu jajaran jenazah dengan sepenuh penglihatannya.

Setiap hari petugas itu menemui hal yang sama.  Rutin.  Orang-orang mati yang tidak bisa protes lagi ketika dia menjulurkan lidah mengejek.  Mengata-ngatai.  Atau bahkan menyumpah-nyumpah ketika dilihatnya di catatan, yang mati adalah seorang pemerkosa.  Pernah satu kali dia menghantamkan sikunya ke dada seorang koruptor yang mati karena sakit jantung.

 Tapi tetap saja.  Ada satu hal yang tak bisa diingkarinya.  Dia sangat menyukai kematian.  Hawa kematian sangat lekat dengan kehidupannya.  Petugas itu bahkan sudah tahu dengan mencium udara bahwa tak lama lagi akan ada penghuni baru di kamar jenazahnya.

Petugas itu tak kalah dengan burung nazar.  Bisa membaui kematian dari jarak bermil-mil.  Semua karena terbiasa.  Semua karena terlatih.  Mungkin saat pensiun nanti, dia akan memutuskan untuk menjadi juru ramal kematian.  Pasti laris.  Orang-orang selalu sangat ingin tahu kapan tiba saatnya untuk mati.  Mungkin supaya tahu kapan mesti buru-buru bertobat.  Jangan sampai terlambat.

Hmmm.  Dia bisa kaya raya.

-----

Ini tahun ke-28 dia bekerja sebagai petugas kamar jenazah.  Profesi yang sama sekali tidak menarik bagi orang lain tapi membuatnya sangat tergila-gila.  Dia bahkan membuat tulisan setiap harinya.  Tulisan yang berisi drama dari para penghuni di ruangannya.

Drama yang memilukan ketika yang mati adalah seorang ayah dengan anak-anaknya yang masih kecil di rumah.  Sementara istrinya sedang hamil tua.  Petugas itu sampai membasahi helai kertas yang ditulisnya dengan airmata tak habis-habisnya.

Drama mengerikan juga pernah ditulisnya saat yang mati adalah seorang yang dibakar karena dianggap dukun santet.  Petugas itu menulis sambil geleng-geleng kepala setelah melihat jenazah teraniaya itu ternyata seorang tua renta yang tak lama lagi pasti juga akan mati.

Drama lain yang tak kalah menyedihkan setelah dia menerima jenazah korban bunuh diri.  Ceritanya adalah seorang gadis yang patah hati karena ditinggal pergi sang kekasih yang menikahi gadis lain.  Padahal si gadis telah menyerahkan segalanya.  Termasuk kehormatannya.

Ada satu drama kolosal yang pernah ditulisnya beberapa tahun silam.  Jenazah bukan datang tapi berdatangan.  Puluhan bahkan mungkin ratusan.  Tidak muat di ruangannya.  Sebagian besar malah dijajarkan di selasar.  Korban kecelakaan kapal tenggelam.

Begitu banyak tulisan berupa kisah drama bagaimana cara kematian itu datang.  Kelak dia akan membukukannya.  Siapa tahu dia bisa menjadi sangat terkenal sejajar dengan para maestro sastrawan.  Bukankah kematian adalah tema paling menawan selain kehidupan?

-----

Petugas itu membereskan berkas laporan hari ini.  Setelah ini dia akan menulis.  Ada drama satu lagi.  Inspirasi datang tadi pagi ketika sesosok jenazah diantarnya masuk ruangan.  Jenazah seorang guru mengaji.  Meninggalnya juga cukup ajaib kata keluarganya.  Saat sujud ketika sedang menunaikan ibadah sholat Jumat.

Ini akan melengkapi semua drama yang telah ditulisnya.  Kematian yang sempurna.

Setelah urusan laporan beres, petugas itu mengambil kertas dan mulai menulis.  Temanya adalah kematian sempurna yang diharapkan banyak orang.  Tapi entah mengapa.  Setelah dia baca lagi hasilnya sangat berbeda dengan tujuan semula.  Ini drama tentang seseorang yang begitu menyukai kematian.  Dibacanya ulang hasil tulisannya baru saja;

"ketika seseorang begitu menyukai kematian, maka sesungguhnya dia sangat tidak menyukai ketika kematian itu mendatanginya.  Karena itu adalah drama yang sama sekali belum sempat ditulisnya"

Petugas itu tercengang.  Bukankah belum pernah ada jenazah yang datang dan keluarganya bercerita bahwa si orang mati itu menyukai kematian?  Siapa orang yang menyukai kematian? Orang-orang selalu takut mati karena ketakutan terhadap hal buruk yang nanti akan menyambutnya di alam sana.

Petugas itu terbelalak dan menyadari ada sesuatu yang keliru!  Dia menuliskan drama kematian untuk dirinya sendiri!

Namun lalu dia tersenyum.  Untuk terakhir kalinya di kursi kaku yang di dudukinya.  Ketika serangan jantung itu mencabut usia senjanya.  Paling tidak dia sudah menulis drama kematian tentang dirinya.

Jakarta, 18 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun