Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pelumpuh Cahaya

14 Maret 2018   11:39 Diperbarui: 14 Maret 2018   11:48 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (pixabay)

Mata Nanda  mencari kesana kemari sambil terus mengawasi ibunya.  Mungkin ada dokter atau perawat yang berjaga di dekat situ.  Tidak nampak siapapun juga.  Ruangan ibunya berada di ujung lorong.  Nanda bertambah panik!

Nanda memundurkan tubuh agar bisa melihat lebih jelas ke ujung lorong.  Matanya tak pernah lepas dari ibunya.  Aneh!  Kejang-kejang pada ibunya berhenti.  Nanda masih belum mengerti.  Gadis itu maju lagi.  Ibunya kejang-kejang lagi.  Ya ampun!  Nanda paham sekarang.  Semakin dia mendekatkan jarak , itu semakin berbahaya bagi ibunya.

Nanda kebingungan. 

Gadis ini memutuskan berlari meninggalkan tempatnya.  Akibatnya sungguh parah!  Lampu-lampu yang menerangi lorong hancur berpecahan.  Duh.  Nanda berusaha berjalan seperti biasa.  Lampu-lampu yang tersisa tidak lagi pecah meski cahayanya hanya sebesar titik kecil lilin yang biasa dipakainya untuk membaca.

Sesampai di ruangan besar tempat para perawat biasa berada, Nanda tidak menemukan siapa-siapa.  Perawat jaga sama sekali tidak nampak batang hidungnya.  Nanda semakin kehilangan pegangan.  Frustasi mulai hinggap.  Nanda berteriak-teriak memanggil.  Siapa saja.  Tapi begitu gema suara teriakkannya berhenti.  Semua lampu di ruangan ini mati.  Semuanya!

Dalam kegelapan Nanda memalingkan mukanya ke arah lorong dimana kamar ibunya berada.  Dia bisa melihat dengan jelas lampu-lampu disanapun padam.  Nanda tak peduli lagi.  Teringat pada keselamatan ibunya yang pasti kedinginan di dalam sana.  Nanda berlari lagi.  Menuju kamar ibunya.

Nanda sama sekali tidak kesulitan melihat dalam gelap.  Kamar ibunya begitu gulita.  Tapi Nanda bisa melihat dengan jelas bagaimana ibunya kejang-kejang luar biasa.  Tubuhnya terbalik-balik di atas ranjang rumah sakit.

Nanda meneteskan airmatanya.  Penyesalan pertama yang murni.  Dia tidak mau kehilangan ibu yang selama ini selalu disakitinya. 

Gadis itu lalu berlutut di lantai.  Berbisik lirih;

"Ampuni aku ibu.  Anak durhakamu ini datang untuk meminta pengampunanmu.  Ampuni aku yang selama ini selalu melawanmu, menyakitimu, tidak peduli kepadamu..."

Nanda terisak keras sekarang.  Dia ingin memegang tangan ibunya.  Memeluknya.  Memberikan kehangatan yang selama ini tidak pernah didapatkan seorang ibu dari anak yang selalu disayanginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun