Lebaran itu.....
Ibu, aku masih ingat tempat kau dulu duduk di teras dengan benang rajutan di tanganmu. Â Berkali kali kau harus membetulkan letak kacamatamu yang hampir terjatuh. Â Terus bertempur memasukkan benang pada lubang jarum tanpa mau dibantu.
Beginilah sebuah perjuangan nak, selama kau masih yakin maka berusahalah sampai kau merasa sudah waktunya dibantu. Â Ingat nak, itu bukan namanya menyerah. Â Dan itu juga bukan namanya kalah.
Ketika kau berhasil memasukkan benang itu, matamu berbinar seperti kejora. Â Kau lanjutkan dengan menjahit satu demi satu kancing bajuku yang terlepas. Â Dengan tekun dan penuh kasih. Â Seolah itu adalah mustika bertuah yang harus kau jaga selalu.
Aku memandang keriput di wajahmu. Â Garis garis itu aku ingat seperti bianglala tak berwarna. Â Sungguh indah tak terbantahkan. Â Kau melihatku sejenak sambil tersenyum. Â Senyum itu sehangat khatulistiwa. Â Ah Ibu, bagaimana aku bisa melupakan senyummu itu.
Kau berdiri dan pergi ke dapur. Â Entah membuat apa di tungkumu. Â Yang pasti setelah itu aku tahu. Â Kau akan menawarkan sesuatu kepadaku.
Ibu membuatkan sayur kesukaanmu. Â Pedas bersantan. Â Ibu selalu membuat ini meski ada saatnya kamu lebaran tidak pulang nak. Â Ibu merasakan kasih yang mengikat dari sayur panas yang kau makan hingga matamu terpejam kepedasan. Â Ibu teringat saat kamu kecil dan merengek meminta baju lebaran. Â Wajahmu persis sama dengan itu.
Aku tidak pernah menolaknya Ibu. Â Aku pasti akan mengambil sepiring nasi dan sayur itu. Â memakannya di sampingmu yang hanya asyik memandangku. Â Lalu menyodorkan segelas air dari gelas seng terkelupas. Â Setelah melihatku berkutat dengan keringat yang membanjiri wajah dan leherku. Â Kau ambil ujung kebayamu. Â Menghapus keringatku sambil berkata lirih.
Nak, keringat selanjutnya setelah kamu kembali ke Jakarta kelak, bukanlah keringat karena kamu kekenyangan. Â Tapi keringat yang kamu sumbangkan untuk lelah bagi orang orang yang membutuhkanmu. Â Bukan hanya keluargamu, namun juga sesamamu.
Aku terpana saat itu Ibu. Â Itu adalah pesan dari malaikat. Â Aku mencatatnya baik baik dalam hatiku.
---------
Ibu, aku merindukanmu seperti kejora di matamu sedang merindukan langit yang terang. Â Aku mengiris kenangan demi kenangan saat bersamamu membuat ketupat seminggu setelah lebaran. Â Kau mentertawakan aku karena tidak pernah sekalipun berhasil menjadikan dua janur menjadi satu ikatan. Kau mengelus rambutku dan berkata,
Lihatlah nak, tidak cukup hanya kepintaran untuk menjadikan sesuatu. Â Namun juga latihan dan ketekunan.
Aku tersedak. Â Kau benar ibu, kembali kau meneteskan petuah bergaram bagiku dalam menjalani kehidupan.Â
Ibu, irisan kenangan ini berhasil aku satukan. Â Menjadi sepenggal kisah cinta yang tak pernah sirna. Â Menyimpannya kembali bersama titik titik rinduku yang berhamburan.Â
Ibu, lebaran kali ini aku tidak pulang. Â Bukan karena kehabisan tiket atau tidak mendapatkan liburan. Â Aku tidak pulang karena kau telah berpulang. Â Aku ingin mengunjungi pusaramu setelah ini ibu. Â Menceritakan kepadamu lewat do'a bagaimana lebaran di kota yang lengang.
Bogor, 23 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H