Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Serangan Sunyi

6 Juni 2017   13:00 Diperbarui: 6 Juni 2017   13:10 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara berjalannya sama sekali tidak macho, padahal jenis kelamin sunyi itu sepertinya laki laki.  Melenggak lenggok gemulai, seperti penari, tapi yang sama sekali tidak ahli.  Jadi menontonnya pasti membosankan sekali. 

Kamu terus mengintip di belakang sunyi.  Sunyi menyisiri lorong lorong pikiran dengan santai.  Di tangannya ternyata ada ember berisi air dicampur bunga bungaan berbau busuk.  Ini jenis jenis bunga yang tidak ramah kepada hidung.  Ada juga bau lain yang bercampur dengan bau bunga busuk itu.  Bau mantra dan jampi!  Malah bau mantra mantra dan jampinya lebih lagi menyengat!

Ya ampuuuunn, kamu menutup hidung.  Air itu diciprat cipratkan ke segala arah di pelosok pikiranmu.  Sungguh bau!  Comberan kuadrat! Septic tank pangkat dua!  Rendaman cucian satu bulan!

Kamu sadar sekarang.  Ternyata sunyi itu lama lama bisa membunuh dengan cara yang sangat cemen juga.  Membuat kamu muak terhadap pikiranmu sendiri.  Membuat kamu mual terhadap isi kepalamu sendiri.  Setelah itu kamu enggan berpikir.  Kamu menjadi orang penyerah pasrah.  Lalu kamu berjalan seperti robot.  Makan layaknya mesin.  Berbicara seperti rekaman kaset.  Tertawa hanya sebagai template.  Tersenyum hanya sebagai basa basi.

Kamu sadar juga sekarang.  Apa yang harus kamu lakukan saat diserang sunyi.  Jejalkan wangi ke dalam pikiranmu.  Sebanyak banyaknya.  Kamu tahu seperti apa caranya.  Kamu sudah menginventarisir semuanya;

Menulis kebahagiaan;  Menyanyikan lagu lagu peperangan;  Berjalan ke pinggir rel dekat stasiun mengamati penderitaan, mencatatnya sebagai pekerjaan rumahmu nantinya;  Duduk di tepi jalan dekat perempatan lampu merah.  Melihat anak jalanan berkeliaran tanpa riang di wajah, mencatatnya juga apa yang kelak kamu akan lakukan;  Menuju ke  pasar Ramadan.  Beli penganan dari semua stand yang ada.  Tak perlu banyak banyak.  Mungkin satu atau dua saja setiap standnya.  Lalu kembali ke tepi rel dan perempatan untuk membaginya.  Memulai semuanya dengan sederhana.  Karena bahagia itu sederhana.

Kamu kembali ke ruang guru.  Tidak lagi termangu.  Bahkan telingamu harus kamu sumpal dengan buku.  Gaduh sekali!  Tapi hidup sekali!

Jakarta, 6 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun