Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Serangan Sunyi

6 Juni 2017   13:00 Diperbarui: 6 Juni 2017   13:10 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Termangu.  Di ruang guru.  Anak anak muridmu sibuk berlarian di halaman.  Beberapa orang malah siap baku hantam.  Teman teman pengajarmu berlalu lalang di depanmu.  Membawa berkas sambil menimang handphone.  Bersin bersin ditutupi handphone.  Mengangkat handphone menerima telepon.  Melihat layar handphone yang bahkan tidak sedang menampilkan apa apa.  Mengetik di keyboard virtual handphone.  Hapus lalu ketik lagi.  Ketik lalu hapus lagi.

Kau buang nafasmu yang kesekian.   Keramaian di depanmu malah membawamu masuk semakin dalam ke kuburan pikiran yang sedang kau rekayasa batu nisannya melalui benakmu.  Di tanganmu tergenggam sebatang pensil.  Entah untuk apa.  Bahkan tidak ada selembar kertaspun di hadapanmu.  Aku takut itu tiba tiba kau tusukkan ke pantat salah satu temanmu yang sedang melenggang di depanmu.  Dia akan menjerit.  Bisa lirih bisa kencang.  Tergantung dari kebudayaan mana dia berasal.

Kau memasuki pikiranmu sendiri.  Menyelinap agar tak diketahui oleh kesadaran yang masih terjaga.  Kau ingin menangis di sudut benakmu.  Serangan sunyi ini begitu mencekam.  Kau bahkan merasa ketakutan saat terdengar bunyi ban meletus dari truck raksasa yang lewat depan sekolahmu.  Itu serasa bom atom tengah dijatuhkan.

Sunyi sedang menguasaimu.  Dia bahkan sedang berkata kata mengeluarkan magis di kepalamu;

Aku selalu datang kepadamu karena kau mudah sekali aku datangi.  Aku tahu pengkhayal lebih mudah aku serang daripada pemadat laknat.  Pencumbu angan angan lebih gampang aku serbu dibanding pemabuk berat.

Kamu tidak terima.  Enak aja.  Kamu harus melawannya;

Aku memang sering merasa tiba tiba sunyi.  Aku mencintai sunyi karena tidak diberikan pilihan.  Aku lebih benci pada kegaduhan.  Aku lebih muak dengan keramaian.

Sunyi tentu saja merasa menang.  Lengkung sayapnya yang selebar jubah manusia kelelawar, direntangkan selebar lebarnya.  Kamu merasa sedang memasuki mendung tebal hitam.  Segera saja semua berubah menjadi begitu suram. 

Kamu sedianya ikut muram.  Tapi kamu justru tertawa agak panjang.  Kamu sekarang tepat berada di pusat pikiranmu.  Kamu sekarang mengerti bentuk sunyi itu seperti apa.  Ternyata bentuknya sungguh cemen sekali.  Lumayan melambai.  Kebancian bancian.  Kamu sekarang mencoba menggambarkannya dengan sedikit detail; 

Dandanannya serba hitam.  Disengaja menyerupai sebuah perkabungan.  Make up serba tidak sesuai.  Mirip make up pesulap yang berniat jadi vampir.  Sungguh perpaduan yang tidak nyaman antara kelesuan dengan kemalasan.

Kamu masih mengintip wujud sunyi.  Kamu ingin melihat kalau dia sedang berjalan menguasai pikiranmu itu seperti apa.  Kamu terbelalak.  Halah! Sunyi itu ternyata benar benar banci!  Coba perhatikan;

Cara berjalannya sama sekali tidak macho, padahal jenis kelamin sunyi itu sepertinya laki laki.  Melenggak lenggok gemulai, seperti penari, tapi yang sama sekali tidak ahli.  Jadi menontonnya pasti membosankan sekali. 

Kamu terus mengintip di belakang sunyi.  Sunyi menyisiri lorong lorong pikiran dengan santai.  Di tangannya ternyata ada ember berisi air dicampur bunga bungaan berbau busuk.  Ini jenis jenis bunga yang tidak ramah kepada hidung.  Ada juga bau lain yang bercampur dengan bau bunga busuk itu.  Bau mantra dan jampi!  Malah bau mantra mantra dan jampinya lebih lagi menyengat!

Ya ampuuuunn, kamu menutup hidung.  Air itu diciprat cipratkan ke segala arah di pelosok pikiranmu.  Sungguh bau!  Comberan kuadrat! Septic tank pangkat dua!  Rendaman cucian satu bulan!

Kamu sadar sekarang.  Ternyata sunyi itu lama lama bisa membunuh dengan cara yang sangat cemen juga.  Membuat kamu muak terhadap pikiranmu sendiri.  Membuat kamu mual terhadap isi kepalamu sendiri.  Setelah itu kamu enggan berpikir.  Kamu menjadi orang penyerah pasrah.  Lalu kamu berjalan seperti robot.  Makan layaknya mesin.  Berbicara seperti rekaman kaset.  Tertawa hanya sebagai template.  Tersenyum hanya sebagai basa basi.

Kamu sadar juga sekarang.  Apa yang harus kamu lakukan saat diserang sunyi.  Jejalkan wangi ke dalam pikiranmu.  Sebanyak banyaknya.  Kamu tahu seperti apa caranya.  Kamu sudah menginventarisir semuanya;

Menulis kebahagiaan;  Menyanyikan lagu lagu peperangan;  Berjalan ke pinggir rel dekat stasiun mengamati penderitaan, mencatatnya sebagai pekerjaan rumahmu nantinya;  Duduk di tepi jalan dekat perempatan lampu merah.  Melihat anak jalanan berkeliaran tanpa riang di wajah, mencatatnya juga apa yang kelak kamu akan lakukan;  Menuju ke  pasar Ramadan.  Beli penganan dari semua stand yang ada.  Tak perlu banyak banyak.  Mungkin satu atau dua saja setiap standnya.  Lalu kembali ke tepi rel dan perempatan untuk membaginya.  Memulai semuanya dengan sederhana.  Karena bahagia itu sederhana.

Kamu kembali ke ruang guru.  Tidak lagi termangu.  Bahkan telingamu harus kamu sumpal dengan buku.  Gaduh sekali!  Tapi hidup sekali!

Jakarta, 6 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun