Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Pena Berbulu

28 Mei 2017   22:32 Diperbarui: 28 Mei 2017   22:48 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pena berbulu masih di tempatnya.  Khusus.  Rhonda sedikit bergidik.  Pena berbulu itu seperti tahu apa yang sedang dipikirkannya dan sekarang sedang menatapnya penuh dengan cemooh.  Rhonda merasa tertantang.  Dikerahkannya segala kemauan yang terakhir.  Diambilnya sebatang pena coklat hadiah ulang tahun dari ayahnya.  Rhonda mulai menulis.

Brengsek kau Rhonda...tak tahu diri...selama ini akulah yang selalu membantumu menulis...kini kau mau mulai mengkhianatiku..hah?!

Rhonda terpekik.  Kenapa dia memulai tulisannya dengan kalimat penuh rutukan seperti ini?  Ya ampuunn. Wajahnya memucat.  Dilepaskannya pena coklat dengan tergesa.  Dipandangnya pena berbulu itu.  Diam.  Namun ada semacam hawa yang mengalir di meja.  Hangat namun membekukan.  Sejuk namun membakar. 

Tanpa sadar lagi Rhonda mengambil pena berbulu itu dan mulai menulis....

-----

Hangga sedang asyik menyelesaikan artikelnya tentang Hari Lahir Pancasila.  Tugas jurnalistik dari kampusnya melelahkan sekali.  Setiap hari dia harus menulis artikel baru yang faktual dan inspiratif.  Tapi inilah resiko mengambil jurusan Jurnalistik Ilmiah dan Populer.  Dia tidak boleh mengeluh.

Berbeda dengan Rhonda.  Gadis indo yang amit amit cantiknya itu memilih jurusan Sastra.  Sesuai dengan passion dan bakatnya yang luar biasa.  Gadis itu selalu menulis fiksi.  Cerpen, puisi dan novel yang melayang layang sesuai imajinasi.  Tidak dibatasi dengan desktop study mengenai data dan fakta terlebih dahulu.  Jauh berbeda dengannya.

Hangga membetulkan letak duduknya.  Rasanya pegal sekali.  Layar monitor di depannya juga sudah kelelahan.  Sekarang bersinar redup seolah olah kehilangan daya.

Di tempat lain.  Rhonda sedang kesetanan menulis; pemuda itu kelelahan sekali.  Bahan tulisannya untuk makalah ilmiah harus selesai malam ini.  Terbayang raut muka dosen killer itu mengangkat pisau pembunuh yang bisa menamatkan nilai pada mata kuliah yang diikutinya.

Hangga sedang membayangkan Pak Banda mengangkat telunjuknya menuding nuding kepadanya.  Berteriak teriak mengatakan bahwa dia tidak becus.  Tidak layak menjadi anak bimbingnya.  Pak Banda bahkan seakan akan mengangkat sebuah pisau besar di layar monitornya.  Pisau penghakiman!

Di tempat lain.  Rhonda masih kesetanan menulis; pemuda itu tertidur saking letihnya.  Tidak sadar bahwa pisau pesar itu melayang keluar dari layar monitor dan terangkat siap dihunjamkan ke dada pemuda yang sekarang mendengkur halus di kursinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun