Pena berbulu masih di tempatnya. Â Khusus. Â Rhonda sedikit bergidik. Â Pena berbulu itu seperti tahu apa yang sedang dipikirkannya dan sekarang sedang menatapnya penuh dengan cemooh. Â Rhonda merasa tertantang. Â Dikerahkannya segala kemauan yang terakhir. Â Diambilnya sebatang pena coklat hadiah ulang tahun dari ayahnya. Â Rhonda mulai menulis.
Brengsek kau Rhonda...tak tahu diri...selama ini akulah yang selalu membantumu menulis...kini kau mau mulai mengkhianatiku..hah?!
Rhonda terpekik. Â Kenapa dia memulai tulisannya dengan kalimat penuh rutukan seperti ini? Â Ya ampuunn. Wajahnya memucat. Â Dilepaskannya pena coklat dengan tergesa. Â Dipandangnya pena berbulu itu. Â Diam. Â Namun ada semacam hawa yang mengalir di meja. Â Hangat namun membekukan. Â Sejuk namun membakar.Â
Tanpa sadar lagi Rhonda mengambil pena berbulu itu dan mulai menulis....
-----
Hangga sedang asyik menyelesaikan artikelnya tentang Hari Lahir Pancasila. Â Tugas jurnalistik dari kampusnya melelahkan sekali. Â Setiap hari dia harus menulis artikel baru yang faktual dan inspiratif. Â Tapi inilah resiko mengambil jurusan Jurnalistik Ilmiah dan Populer. Â Dia tidak boleh mengeluh.
Berbeda dengan Rhonda. Â Gadis indo yang amit amit cantiknya itu memilih jurusan Sastra. Â Sesuai dengan passion dan bakatnya yang luar biasa. Â Gadis itu selalu menulis fiksi. Â Cerpen, puisi dan novel yang melayang layang sesuai imajinasi. Â Tidak dibatasi dengan desktop study mengenai data dan fakta terlebih dahulu. Â Jauh berbeda dengannya.
Hangga membetulkan letak duduknya. Â Rasanya pegal sekali. Â Layar monitor di depannya juga sudah kelelahan. Â Sekarang bersinar redup seolah olah kehilangan daya.
Di tempat lain. Â Rhonda sedang kesetanan menulis; pemuda itu kelelahan sekali. Â Bahan tulisannya untuk makalah ilmiah harus selesai malam ini. Â Terbayang raut muka dosen killer itu mengangkat pisau pembunuh yang bisa menamatkan nilai pada mata kuliah yang diikutinya.
Hangga sedang membayangkan Pak Banda mengangkat telunjuknya menuding nuding kepadanya. Â Berteriak teriak mengatakan bahwa dia tidak becus. Â Tidak layak menjadi anak bimbingnya. Â Pak Banda bahkan seakan akan mengangkat sebuah pisau besar di layar monitornya. Â Pisau penghakiman!
Di tempat lain. Â Rhonda masih kesetanan menulis; pemuda itu tertidur saking letihnya. Â Tidak sadar bahwa pisau pesar itu melayang keluar dari layar monitor dan terangkat siap dihunjamkan ke dada pemuda yang sekarang mendengkur halus di kursinya.