Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Pena Berbulu

28 Mei 2017   22:32 Diperbarui: 28 Mei 2017   22:48 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rhonda menatap kertas putih di hadapannya.  Tak berkedip.  Seharusnya sudah 3 atau 4 halaman dia menulis.  Seperti biasanya. 

Tapi malam ini sepertinya terlalu murung.  Mengikuti hatinya yang sangat mendung.  Sudah beberapa minggu Hangga tak mau menyapanya.  Entah karena apa.  Rhonda hanya ingat lintasan lintasan percakapan yang tidak mirip bertengkar antara dia dan Hangga.  Hanya sebuah perdebatan mengenai tulisan.

“Jangan menulis akhir tragis lagi Rhonda.  Itu akan membuatmu terkurung dalam jiwa yang murung...” Hangga berkata dengan nada putus asa.  Sudah berulangkali dia mengingatkan ini kepada Rhonda.

“Aku tidak secara sengaja menulisnya Hangga...ini mengalir begitu saja.  Aku tidak bisa mengendalikan imajinasiku.  Dan terutama tidak bisa mengendalikan penaku...” Rhonda bukan sedang berkilah.  Gadis ini mengatakan dengan sebenarnya.

Hangga hanya menghela nafas kecewa.  Selalu saja begini akhir dari perbincangan mereka jika sedang membahas tulisan Rhonda yang selalu dahsyat, misterius, disukai banyak orang, namun hampir selalu tragis di akhir cerita.

------

Rhonda meniupkan udara dari mulutnya.  Semangatnya separuh menghilang bersama kekecewaan Hangga.  Pemuda itu terlalu memaksanya padahal dia sudah bercerita yang sebenarnya.  Pena itu! Pena berbulu warisan kakeknya yang keturunan Belanda, sejak lama telah bersenyawa dengannya.  Dengan imajinasinya.  Dengan ide idenya yang mengalir tiada henti. 

Sejak mulai menulis di kelas 2 SMP, pena berbulu itu selalu setia menemani.  Patuh.  Rhonda berhenti berpikir sejenak.  Patuh?  Penanya yang patuh atau dianya yang patuh?  Rhonda menggeleng gelengkan kepala.

Aku harus mencoba tanpa dia! Rhonda memutuskan.  Barangkali dengan begini,  dia tidak lagi didikte untuk selalu menulis cerita dan kisah yang tragis.  Seperti kehendak Hangga.  Kekasih yang sangat dicintainya.

------

Tapi inilah dia.  Tanpa pena berbulu itu dia tidak bisa apa apa.  Seakan akan otaknya mengosongkan diri.  Imajinasi dan idenya terbang entah kemana.  Bahkan tangannya jadi enggan bergerak meraih puluhan pena lain di depannya.  Kertasnya masih saja putih.  Kosong.  Tanpa coretan apa apa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun