“Bapak tidak apa apa?...maaf ya pak? Apakah bapak sakit? Ada yang bisa saya bantu?”
Prolet menembakkan banyak pertanyaan karena dilihatnya si bapak sedang benar benar lemah dan nampak sekali tidak berdaya. Pria gagah dan rapi itu memandang Prolet sekilas. Menghela nafas panjang sekali. Seolah berusaha melepaskan sesuatu yang menghimpit dadanya. Dilambainya Prolet. Mengajaknya duduk di trotoar jalan. Memberi isyarat melalui pandang matanya ke arah selokan yang mengalir tersendat karena banyaknya sampah dan kotoran.
“Kau lihat nak. Air selokan yang mengalir. Begitu lambat melewati banyak sampah dan kotoran. Tubuhnya berbau. Warnanya tidak jelas. Apakah coklat atau abu abu. Padahal dia sedang menuju ke muara laut tempat persinggahan terakhirnya sebelum menguap dan ikut menjadi bagian dari hujan.”
Pria itu mengambil nafas panjang berulang ulang sebelum akhirnya melanjutkan.
“Carilah namaku di koran, majalah atau media internet lainnya. Anton Baramuli. Pasti kau akan temukan betapa terkenalnya aku. Betapa kayanya aku. Betapa beruntungnya aku. Betapa bahagianya aku. Tapi tidak nak! Tidak! Aku sama persis seperti air selokan itu. Dalam perjalanan menuju keabadian kelak, tubuhku bergelimang kebusukan., hatiku sering membaui keburukan. Aku rindu nak. Uang berlimpah ternyata tidak membuatku tenang. Menjadi orang terkenal membuatku semakin gelisah. Keluargaku bahagia, aku ikut bahagia. Tapi aku harus memastikan itu bahagia yang sebenarnya. Bukan sekedar bahagia dunia. Aku rindu nak...rindu segera mencapai muara. Namun dalam perjalanan tidak lagi melewati kebusukan dan kekotoran.”
Prolet sedari tadi hanya bisa terdiam. Bapak kaya yang sedang duduk di trotoar bersamanya ini seorang pemburu rindu. Rindu kepada kasih Tuhan.
----
Hari ini Prolet bertemu dengan dua orang pemburu rindu. Meski dengan makna dan tujuan yang berbeda. Cinta manusia dan kasih Tuhan. Prolet merasa ada yang masih kurang dari hari ini. Dia mempunyai firasat akan bertemu dengan pemburu rindu ketiga.
Hampir pukul lima. Prolet sudah bersiap siap untuk pulang. Titt..titt..tittt. Suara ponselnya berbunyi pelan. Hmmm ada pesan baru masuk. Dia sudah mau pulang. Namun Prolet tergoda untuk segera membukanya. Siapa tahu Tuan Puteri salah makan lalu mengirimkan kata kata cinta. hah! Ngigau! Prolet memaki pikirannya sendiri.
Dengan santai Prolet membuka layar hapenya. Aahh teman temannya di grup mengirimkan sebuah tautan. Biasanya Prolet akan mengabaikan yang macam begini. Tapi entah bagaimana ceritanya, dia sudah membuka tautan itu dan menyaksikan seorang kakek mengenakan seragam legiun veteran, membaca sebuah surat dengan suara bergetar dan tangan gemetar.
“Nama saya Mbah Diro. Saya veteran perang Belanda, perang Nippon dan perang kemerdekaan. Saya menulis dan membaca surat ini karena saya takut mati dalam keadaan kecewa. Saya tidak mau menjadi hantu penasaran dan gentayangan. Biarlah saya bacakan di sini sebagai warisan untuk kalian. Para generasi bangsa.....