Prolet menatap lembaran kertas putih di tangannya dengan perasaan bercampur baur. Â Antara senang berkelindan dengan sedih. Â Ditatapnya lagi. Â Dilipatnya baik baik dan disimpannya dalam laci. Â Dia harus membacanya lagi nanti.
Dalam tempo 1 bulan terakhir, 3 kali Prolet selalu menerima surat surat singkat dari seseorang yang dikenalnya secara tidak sengaja di media sosial. Â Surat itu benar benar surat! Bukan postingan di FB yang dia print supaya lebih mudah membacanya. Â Di jaman begini?
----
Surat ke 1-minggu pertama Januari 2017;
Dear Prolet,
Senang berkenalan denganmu. Â Meski hanya melihatmu lewat facebook, aku percaya kamu bukanlah seorang pemuda penggombal yang berniat melakukan hal hal tak masuk akal. Â Aku suka dengan postingmu tentang kehidupan sesungguhnya. Â Bukan reality show yang direkayasa sutradara.Â
Kamu berusaha membuka mata dunia bahwa kenyataan itu sebenarnya sebuah lukisan yang belum jadi. Â Atau sebuah karya sastra yang masih tertunda. Â Atau peperangan yang belum menimbulkan korban jiwa. Â Aku sangat menyukainya.
Aku menuliskan surat ini tepat saat aku tiba di tempat penugasanku yang baru sebagai seorang guru. Â Tempat ini di Indonesia Prolet. Â Tapi serasa bukan juga. Â Kamu tahu? Katanya, Indonesia sudah bebas dari buta aksara sejak lama. Â Katanya, Indonesia bukan lagi pelosok dunia yang terpencil. Kemana mana mudah didatangi. Â Tidak ada lagi tempat yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Â Seperti ketika pajajaran masih babad alas pertama kali.
Prolet, aku menemukan sebuah ironi. Â Ternyata itu semua masih sebatas jargon. Â Masih banyak anak anak pergi bertelanjang kaki ke sekolah yang beratap seng bekas. Â Dindingnya dari papan papan kayu yang mulai melapuk dimakan rayap dan usia senja.Â
Aku sedih Prolet. Â Bukan karena aku masih harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju tempat ini. Â Namun karena anak anak itu pergi ke sekolah dengan menyeberangi kali. Â Bukan kali besar memang. Â Tapi setidaknya mereka mesti berbasah basah dulu sebelum membuka buku.
Surat ini aku kirimkan lewat pos Prolet. Â Tidak ada jaringan internet di sini. Â Aku antara bersyukur dan terkubur. Bersyukur bisa memusatkan perhatianku pada anak anakku. Â Terkubur karena itu berarti aku tidak bisa lagi bersentuhan dengan dunia di ujung jariku. Â Tak apa Prolet. Â Ini adalah bagian dari resiko perjalananku sebagai guru.