Menjelang sore. Â Ketika temaram mulai menggerakkan bibirnya menyapa. Â Kami tiba di suatu tempat yang mirip dengan gua. Â Saking rapatnya pepohonan yang melingkupi. Â Meskipun suasana mistis terasa kuat, paling tidak aku bernafas sedikit leluasa. Â Kakiku pegal dan perutku kaku. Â Mataku agak berkunang kunang. Â Payah memang. Â Orang sok kota padahal terlahir di desa yang dulu malah belum terjangkau listrik.
----
Malam ini kami putuskan untuk menginap di tempat ini. Â Pak Karyo bilang, Anggrek Bulan hanya bisa dicari pada saat malam hari. Â Saat masih ada sisa temaram bulan atau saat sinar bulan mulai menanjaki purnama. Â Beberapa malam ini adalah waktu yang paling tepat untuk mencari.Â
Kami mendirikan tenda kecil yang memang sengaja kami bawa. Â Cukup untuk berdua. Â Setelah menghabiskan dua bungkus mie instant, minum kopi, dan berbincang sebentar, Pak Karyo memintaku mengikutinya.Â
Semula aku tidak merasa takut sedikitpun. Â Maklumlah orang kota, sekolah tinggi dan berwawasan seluas centong nasi. Â Hal hal mistis, magis atau metafisis, sama sekali tidak masuk hitungan matematis dan logis. Â Sombong.
Namun semakin malam, sembari menelusuri jalan setapak yang dibuat babi hutan, aku merasakan angin seolah tidak ada di tempat ini. Â Daun daun yang aku temui kaku seperti potongan potongan kertas karton. Â Pohon pohon tinggi di sekelilingku seperti berubah menjadi raksasa raksasa hidup tapi diam mengintai. Â Suara anjing hutan menangisi malam terdengar seperti rintihan makhluk tak kasat mata sedang kesakitan. Â Tidak ada suara lain satupun yang memasuki telingaku. Â Ini hawa tak biasa. Â Pak Karyo bahkan aku lihat merapatkan kain sarung menutupi leher dan telinganya. Â Gawat!
Merinding menjalari tubuhku. Â Merambat secepat aliran listrik di air mengalir. Â Inilah saat yang paling tepat untuk menghitung berapa jumlah bulu di tubuhku. Â Semuanya berdiri tanpa ampun. Â Hiiiihhh....
----
Pak Karyo memberikan isyarat berhenti. Â Orang tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik kantung bajunya. Â Sebatang rokok, korek api dan sepotong kecil benda mirip kerikil. Â Begitu dinyalakan, bau kemenyan dan klembak melesat naik ke udara yang berhenti. Â Ini ritual yang dijelaskan Pak Lurah sebelum berangkat ke sini. Â Menghindari lelembut dan banaspati, katanya dengan agak cemas.
Aku mengikuti lagi isyarat Pak Karyo untuk mendekat. Â Kami berdua berputar putar mengelilingi sebuah pohon luar biasa besar. Â Aku tidak tahu namanya. Â Mau tanya Pak Karyo takut mengganggu ritualnya. Â Hanya saja ada riak gembira luar biasa di hatiku ketika melihat cahaya samar di sebuah dahan terendah pohon itu. Â Anggrek Bulan!
Bau klembak dan kemenyan memenuhi tempat kami berdiri. Â Angin yang tetap menjadi udara mati. Â Namun tiba tiba suara gemerosokan dan gaduh mengaduk daun daun pohon raksasa itu. Â sepertinya terjadi angin lesus. Â Anehnya, hanya pohon itu yang diguncang angin kencang. Â Aku lihat dedaunan di pohon pohon lainnya sama sekali tidak bergerak. Â Sedikitpun.