Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Ujung Kilat di Dangau Pak Sardi

11 Mei 2017   23:30 Diperbarui: 11 Mei 2017   23:41 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kedua orang ini lalu menelusuri pematang dengan hati hati.  Pematang itu sangat sempit dan kecil.  Di beberapa tempat malah baru ditambahi tanah sehingga berlumpur dan licin. Lumayan juga jika sampai terjatuh.  Benjol dijamin tidak.  Tapi berkubang lumpur sudah pasti iya.

Semakin mendekati tempat yang dituju.  Serbuan kilat semakin bertubi tubi.  Sawo sampai harus beberapa kali berhenti sambil menutup kedua telinganya.  Gerak reflek yang otomatis. Kecik sendiri masih mantap melangkahkan kaki.  200 meter lagi mereka sampai.  Dia semakin yakin.  Ujung kilat itu memang menuju ke tempat yang sama.

Kira kira 50 meter dari dangau Pak Sardi.  Kecik menghentikan langkah mendadak.  Lalu berjongkok tiba tiba.  Tanpa mengeluarkan suara atau aba aba.  Hampir saja Sawo yang berjalan di belakangnya terjungkal karena kesandung Kecik.  Untung dia sempat berpegangan pada lengan baju Kecik.  Selamat.

“Ssssttt...lihat kang.  Ada seseorang di dangau Pak Sardi.  Aku melihat bayangannya dengan jelas tadi...” Kecik berbisik lirih sekali.  Gemetaran.

Sawo tidak menyahut.  Apalagi dia tidak mendengar dengan jelas apa bisikan Kecik tadi.  Tapi melihat gelagat tetangga rumahnya, Sawo jadi ikut ikutan jongkok. 

Sekarang Kecik bertingkah lebih aneh lagi.  Dia meneruskan perjalanan tapi dengan berjongkok. Beringsut ingsut maju berusaha tidak menimbulkan suara.  Sawo ternganga bingung. Temannya ini sudah dimasuki jin penunggu Telogo Widodaren rupanya. 

Ada sebuah telaga agak besar terdapat tidak jauh dari areal persawahan.  Indah.  Airnya sangat bening.  Konon telaga yang telah berusia ribuan tahun itu, adalah tempat mandi para bidadari.  Anehnya, tidak ada mata air yang ditemukan di sekitar telaga.  Jadi darimana telaga itu mendapatkan limpahan air yang seperti tidak habis habis?

Sawo dan Kecik rupanya berpikiran sama.  Mereka saling berpandangan dalam posisi masih berjongkok.  Kecik membesarkan hatinya.  Dia memberi isyarat Sawo agar terus maju.  Tetap dengan berjongkok.

Akhirnya sampailah mereka di pinggir bangunan dangau yang dibangun cukup bagus dan berukuran cukup besar.  Kilat datang lagi.  Beruntun beberapa kali.  Sawo dan Kecik ndepipis di balik dinding dangau.  Mencoba mengintip melalu sela sela anyaman bambunya.

Tidak terlihat apa apa.  Gelap.  Harus menunggu kilat menyinari lagi.  Keduanya tidak menyadari masing masing membawa senter saking tegangnya.

Sawo dan Kecik hampir terjengkang ke belakang saat lamat lamat terdengar isak tangis perempuan di dalam dangau!  Sudah tidak bisa digambarkan lagi betapa bulu kuduk mereka tegang seperti kawat baja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun