Kedua orang ini lalu menelusuri pematang dengan hati hati. Pematang itu sangat sempit dan kecil. Di beberapa tempat malah baru ditambahi tanah sehingga berlumpur dan licin. Lumayan juga jika sampai terjatuh. Benjol dijamin tidak. Tapi berkubang lumpur sudah pasti iya.
Semakin mendekati tempat yang dituju. Serbuan kilat semakin bertubi tubi. Sawo sampai harus beberapa kali berhenti sambil menutup kedua telinganya. Gerak reflek yang otomatis. Kecik sendiri masih mantap melangkahkan kaki. 200 meter lagi mereka sampai. Dia semakin yakin. Ujung kilat itu memang menuju ke tempat yang sama.
Kira kira 50 meter dari dangau Pak Sardi. Kecik menghentikan langkah mendadak. Lalu berjongkok tiba tiba. Tanpa mengeluarkan suara atau aba aba. Hampir saja Sawo yang berjalan di belakangnya terjungkal karena kesandung Kecik. Untung dia sempat berpegangan pada lengan baju Kecik. Selamat.
“Ssssttt...lihat kang. Ada seseorang di dangau Pak Sardi. Aku melihat bayangannya dengan jelas tadi...” Kecik berbisik lirih sekali. Gemetaran.
Sawo tidak menyahut. Apalagi dia tidak mendengar dengan jelas apa bisikan Kecik tadi. Tapi melihat gelagat tetangga rumahnya, Sawo jadi ikut ikutan jongkok.
Sekarang Kecik bertingkah lebih aneh lagi. Dia meneruskan perjalanan tapi dengan berjongkok. Beringsut ingsut maju berusaha tidak menimbulkan suara. Sawo ternganga bingung. Temannya ini sudah dimasuki jin penunggu Telogo Widodaren rupanya.
Ada sebuah telaga agak besar terdapat tidak jauh dari areal persawahan. Indah. Airnya sangat bening. Konon telaga yang telah berusia ribuan tahun itu, adalah tempat mandi para bidadari. Anehnya, tidak ada mata air yang ditemukan di sekitar telaga. Jadi darimana telaga itu mendapatkan limpahan air yang seperti tidak habis habis?
Sawo dan Kecik rupanya berpikiran sama. Mereka saling berpandangan dalam posisi masih berjongkok. Kecik membesarkan hatinya. Dia memberi isyarat Sawo agar terus maju. Tetap dengan berjongkok.
Akhirnya sampailah mereka di pinggir bangunan dangau yang dibangun cukup bagus dan berukuran cukup besar. Kilat datang lagi. Beruntun beberapa kali. Sawo dan Kecik ndepipis di balik dinding dangau. Mencoba mengintip melalu sela sela anyaman bambunya.
Tidak terlihat apa apa. Gelap. Harus menunggu kilat menyinari lagi. Keduanya tidak menyadari masing masing membawa senter saking tegangnya.
Sawo dan Kecik hampir terjengkang ke belakang saat lamat lamat terdengar isak tangis perempuan di dalam dangau! Sudah tidak bisa digambarkan lagi betapa bulu kuduk mereka tegang seperti kawat baja.