Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan Lahir Batin Prolet; Mendapat Keadilan Tuhan

6 Mei 2017   18:37 Diperbarui: 6 Mei 2017   19:33 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara cicak yang sedang saling pagut di dinding rumah tahanan itu membuat Prolet terbangun.  Sesungguhnya dia tidak bisa tidur.  Hanya matanya saja yang terpejam.  Pikirannya mengembara ke tempat tempat tandus tak bertuan.  Mengukur setiap bulu di tubuhnya sebagai liku liku perjalan nasib.

Prolet meraih buku catatan kecilnya.  Menuliskan sesuatu; Tuhan aku yakin ini cobaan.  Jikapun bukan, bantulah aku untuk mencobanya...

Kejadian sebulan lalu saat dirinya ditahan karena dituduh sebagai kurir dalam salah satu kasus terbesar negeri ini, membuatnya ditahan sambil menunggu pengadilan berlangsung. Mega korupsi E-KTP, begitu kata media media ternama.  Melibatkan orang orang penting,  bos bos penting, wakil wakil penting, dan uang yang tidak sanggup dihitung oleh mesin kalkulator sekalipun.  Terlalu banyak nol-nya!

Tapi Prolet menyebutnya sebagai mega sial.  Berulangkali dia menjelaskan kepada puluhan para penyidik yang bergilir menanyai bahwa dia hanya mengantar amplop surat saja. Tidak tahu sedikitpun tetek bengek lainnya.  Tapi rupanya para penyidik menganggap Prolet sedang menyembunyikan sesuatu.

Tampang Prolet yang tidak jelek jelek amat, agak mirip dengan bintang film terkenal dari India, gaya bicaranya yang santun, gerak tubuhnya yang sopan, justru membuat para penyidik meyakini bahwa Prolet adalah seorang aktor inteletual yang sedang berkamuflase hebat. 

“Anda salah satu orang yang lepas dari mata penyelidik kami...”

“Jangan mengelak, anda pasti merencanakan semua ini dengan sempurna di suatu tempat yang tersembunyi...”

“Dugaan saya, anda adalah aktor intelektual utama yang betul betul tidak kami duga sama sekali...”

Kicau dan sergah para penyelidik itu membuat Prolet hanya melongo dan terdiam.  Cool!  Begitu bisik salah satu penyelidik kepada rekannya, saat melihat Prolet manyun sambil bersedekap.

----

Prolet sangat mengharapkan Bos Besar datang menjenguknya. Memberikan kesaksian bahwa dia sama sekali tidak terlibat.  Prolet sama sekali tidak tahu bahwa Bos Besar sedang terbaring sakit di rumah sakit negara tetangga.  Ditunggui oleh Tuan Puteri.  Orang yang juga diharapkan Prolet datang menjenguk dan membawakan setangkup roti dan seikat senyum manis seperti biasa. 

“Fiiiuuuuh!....khayalanku sangat jauh kemana mana,” pikir Prolet putus asa.

Pemuda ini teringat pada sistem peradilan di negeri tercintanya ini.  kalau orang pintar bilang, semakin ke atas semakin tumpul.  Prolet bergidik.  Itu artinya, semakin ke bawah semakin tajam.  Merinding bulu tengkuk Prolet membayangkan.  Dia adalah bagian terbawah dari silang sengkarut yang sedang terjadi.  Hiiiihhh, aku akan kena pisau keadilan yang paling tajam.  Kembali Prolet bergidik.  Kali ini ditambah dengan gigil sedikit.

Ah, masih ada keadilan yang jauh lebih tinggi, murni dan tidak memihak siapapun.  Prolet tersenyum sambil bergegas memanggil petugas tahanan.  Minta ijin pergi ke musholla untuk meminta keadilan kepada Tuhannya.

----

Tepat pada tanggal yang dijadwalkan oleh pengadilan.  Pukul 10 pagi, Prolet duduk tidak dengan manis di kursi terdakwa untuk kasus korupsi yang sangat heboh itu.  Pemuda ini menatap lurus ke depan.  Menghitung detik detik kehancuran dirinya sebagai OB terhormat ke dalam vonis sebagai terdakwa korupsi besar besaran.

Prolet berjengit.  Bukankah ini menaikkan martabatnya dengan hebat?  Lahir di kampung, sekolah di ndeso, lulus sekolah jadi OB, lalu divonis sebagai koruptor kelas tinggi.  Prolet nyengir.  Dia merasa hebat bisa menghibur dirinya sendiri secara ironis. 

Prolet memperhatikan satu demi satu orang yang hadir.  Tiga orang di depannya nampak bengis.  Prolet melirik sekejap palu yang tergeletak di meja.  Jantungnya seperti jatuh ke lantai.  Benda mirip ‘barang’ laki laki itu akan menentukan berapa lama dia harus menetap di penjara.  Menghitung sisa hidupnya hanya dengan menghitung turus di dinding yang kelabu.

----

Persidangan berjalan dengan lancar.  Sangat lancar malah.  Saksi saksi yang hadir semuanya memberatkan Prolet.  Bahkan Sahwat juga mengiyakan dengan tegas ketika hakim bertanya apakah tugas Prolet mengantar antar surat saat itu sangat rahasia dan hanya dia yang melakukan.

Tibalah vonis dibacakan.  Prolet berusaha tabah dengan cara menebak nebak dalam hati.  15 tahun? 10 tahun? 5 tahun?  Saking rumitnya perhitungan pikiran Prolet, dia sampai tidak sadar bahwa vonis telah dibacakan tuntas dan sang hakim mengangkat palu ke atas.

“...............bebas!...tok....tok....tok..”

Prolet terhenyak kaget.  Dia hanya mendengar kata terakhir dan suara palu diketok.  Untuk memastikan, dia melihat ke sekeliling.  Semua orang bertepuk tangan.  Riuh.  Gemuruh.

Prolet yakin sekarang.  Dia langsung jatuh berlutut.  Bersimpuh luruh.  Keadilan didapatkan sesuai doanya tadi malam kepada Yang Maha Adil!  Subhanallah!

Sambil menyalami semua yang hadir, Prolet berkaca kaca matanya.  Pengadilan belum bubar di negeri yang dicintainya ini.  Setiap saat, Tuhan bisa dengan mudah merubah ketajaman mata pisau keadilan sangat tumpul ke bawah, luar biasa tajam mengerikan ke atas.  Lewat orang orang berbaju hitam namun hatinya putih, bertoga hitam namun akhlaknya bersih, yang mewakili Tuhan, duduk paling tinggi dan paling depan di ruang pengadilan.

Jakarta, 6 Mei 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun