“Fiiiuuuuh!....khayalanku sangat jauh kemana mana,” pikir Prolet putus asa.
Pemuda ini teringat pada sistem peradilan di negeri tercintanya ini. kalau orang pintar bilang, semakin ke atas semakin tumpul. Prolet bergidik. Itu artinya, semakin ke bawah semakin tajam. Merinding bulu tengkuk Prolet membayangkan. Dia adalah bagian terbawah dari silang sengkarut yang sedang terjadi. Hiiiihhh, aku akan kena pisau keadilan yang paling tajam. Kembali Prolet bergidik. Kali ini ditambah dengan gigil sedikit.
Ah, masih ada keadilan yang jauh lebih tinggi, murni dan tidak memihak siapapun. Prolet tersenyum sambil bergegas memanggil petugas tahanan. Minta ijin pergi ke musholla untuk meminta keadilan kepada Tuhannya.
----
Tepat pada tanggal yang dijadwalkan oleh pengadilan. Pukul 10 pagi, Prolet duduk tidak dengan manis di kursi terdakwa untuk kasus korupsi yang sangat heboh itu. Pemuda ini menatap lurus ke depan. Menghitung detik detik kehancuran dirinya sebagai OB terhormat ke dalam vonis sebagai terdakwa korupsi besar besaran.
Prolet berjengit. Bukankah ini menaikkan martabatnya dengan hebat? Lahir di kampung, sekolah di ndeso, lulus sekolah jadi OB, lalu divonis sebagai koruptor kelas tinggi. Prolet nyengir. Dia merasa hebat bisa menghibur dirinya sendiri secara ironis.
Prolet memperhatikan satu demi satu orang yang hadir. Tiga orang di depannya nampak bengis. Prolet melirik sekejap palu yang tergeletak di meja. Jantungnya seperti jatuh ke lantai. Benda mirip ‘barang’ laki laki itu akan menentukan berapa lama dia harus menetap di penjara. Menghitung sisa hidupnya hanya dengan menghitung turus di dinding yang kelabu.
----
Persidangan berjalan dengan lancar. Sangat lancar malah. Saksi saksi yang hadir semuanya memberatkan Prolet. Bahkan Sahwat juga mengiyakan dengan tegas ketika hakim bertanya apakah tugas Prolet mengantar antar surat saat itu sangat rahasia dan hanya dia yang melakukan.
Tibalah vonis dibacakan. Prolet berusaha tabah dengan cara menebak nebak dalam hati. 15 tahun? 10 tahun? 5 tahun? Saking rumitnya perhitungan pikiran Prolet, dia sampai tidak sadar bahwa vonis telah dibacakan tuntas dan sang hakim mengangkat palu ke atas.
“...............bebas!...tok....tok....tok..”