AKHIR SANG PENYAIR
Tenggelam dalam kerumunan raksasa-raksasa pencakar langit, kaki tua itu terus berjalan. Menyibak barisan trotoar berdaki dari ujung ke ujung. Berhenti sejenak untuk sekedar menatap keangkuhan rambu lalu lintas di perempatan, pemilik kaki tua itu terbatuk-batuk diterpa gumpalan-gumpalan asap knalpot kendaraan bermotor.
“Gusti Allah, dimana harus kusembunyikan paru-paruku yang sudah bangka ini?”
Keluhnya lirih disela-sela kesibukan dadanya menyaring polusi. Tiba-tiba dipacunya dengan cepat kaki tuanya untuk menggapai tangga bis kota yang sedang menurunkan berjejal-jejal manusia sekaligus menaikkan berjejal-jejal yang lain. Belum juga pak tua itu selesai menyederhanakan napasnya yang memburu dan mengangkat lututnya untuk ikut berjejal naik, bis kota itu sudah tersengal-sengal bergerak maju. Meninggalkan asap hitam yang kembali berebutan memasuki rongga dadanya.
Dua tiga kali pak tua itu harus menerima nasib dikalahkan oleh perburuan waktu ibu kota. Baru kali yang keempat, dengan sisa-sisa kekuatan usianya dia berhasil menaklukkan kepongahan mesin metropolis itu. Dan didapatinya dirinya telah berimpit-impit dengan lusinan ketiak di tengah lorong bermesin itu. Matanya mencari-cari bangku yang mungkin lupa untuk diduduki. Menghela napas panjang, lalu terbatuk menahan getar getir perasaannya. Belasan pantat-pantat muda dengan tenangnya sedikitpun tidak bergerak, meski di atas mereka seorang nenek, seorang ibu muda dengan bayinya, dan seorang bapak tua berjuang mempertahankan kerapuhannya agar tidak terbanting ke kanan kiri.
Ketika kondektur berteriak berkali-kali menyebut sebuah nama, pak tua itu bergegas mendorong tubuhnya untuk turun. Kali ini, nasibnya tidaklah lebih baik, karena tanpa dapat dicegah lagi, raga tuanya harus terjungkal ke tepi jalan saat sebelah kakinya masih tersangkut di bibir tangga sedangkan bis itu sudah bersicepat menerjang kebutuhan.
Kontan saja, belasan orang mengelilingi dengan rasa ingin tahu. Sambil menahan rasa sakit, pak tua itu berusaha menghunjamkan kakinya ke bumi. Dan dia berhasil, kemudian terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, diiringi belasan orang yang ikut membubarkan diri, diiringi ketidakperdulian yang kembali mencengkeram udara ibu kota.
“Menyabung tubuh dan jiwa\mendekap amanat hati\ terperangkap kelunya peradaban\ menanggalkan baju masa…..”
Gumaman antara jelas dan tidak keluar dari bibir si bapak tua, suatu usaha hatinya untuk melupakan rasa sakit yang merambati kaki kirinya. Dia merogoh saku celana komprangnya, digenggamnya segebok lusuh kertas bergambar pahlawan, membawa tubuhnya memasuki pelataran sebuah rumah makan.
Belum juga hidungnya melewati pertengahan pintu, sebuah suara menghardiknya dari belakang,
“Bapak tua, tunggu dulu!”
Dilihatnya sepasang mata berkuasa.
“Saya manajer rumah makan ini, saya harap pak tua segera meninggalkan tempat ini.”
Diangsurkannya tangan umtuk memperlihatkan lembaran-lembaran uang puluhan ribu, tapi mata itu tetap menunjukkan kuasa, meski sekarang agak mengendur,
“Maaf, pak tua boleh punya uang, tapi saya takut tamu-tamu langganan saya akan kehilangan selera melihat kekumuhan bapak.”
Kali ini dijawabnya dengan sedikit tersinggung,
“Tapi, saya sanggup bayar. Lagipula yang mau makan itu saya bukan pakaian saya.”
Mata berkuasa itu tetap berkuasa, memberi isyarat seorang satpam untuk segera menjalankan tugasnya. Pak tua itu hanya tersenyum pahit ketika satpam menggandeng kejengkelannya keluar halaman.
“Pak tua, maafkan saya. Saya hanya menjalankan tugas.”
Sebuah ketulusan dan penyesalan memancar pada mata didepannya. Pak tua itu hanya mengangguk pelan, digenggamnya tangan sang satpam sembari menyelipkan uang yang rencananya tadi untuk makan. Satpam itu berusaha menolak dengan sopan.
“Ambillah nak. Uang ini memang ditakdirkan untuk menjadi rejeki tempat ini, dan aku senang bahwa aku bisa memberikannya pada tempat yang tepat.”
Pak tua itu mengayunkan langkahnya, meninggalkan raut muka penuh syukur dan terima kasih sang satpam.
Teriknya siang semakin memanggang rimbun belantara Jakarta. Pak tua itu terus saja menelusuri satu demi satu ruang sempit yang disediakan ibu kota. Mencoba menggali keberaniannya yang tertimbun kenyataan hidup. Melepas segala haus yang melilit kerongkongan nuraninya akan beberapa buah ketulusan dan keperdulian penghuni belantara kota ini.
“Toloooong!”
Jeritan yang mengundang iba dan ketakutan itu mendorong pak tua untuk mendatangi. Dilihatnya seorang wanita muda berusaha mempertahankan tasnya dari beberapa orang bertampar sangar.
“Hey! Hentikan!”
Tampang-tampang sangar itu serentak menoleh ke sumber suara, dan nyali mereka yang mendadak terputus tadi kembali bangkit.
“Tua bangka sialan, enyah kau dari sini! Atau kau ingin tubuhmu yang peot itu jadi santapan tikus-tikus got.”
Dengan senyum sareh pak tua itu melemparkan tasnya di depan mereka.
“Kalian boleh ambil tasku, tapi lepaskan wanita itu.”
Salah seorang dari bajingan itu membuka tas pak tua dan mengaduk isinya. Pakaian-pakaian kumal, sepasang sandal jepit, sajadah tua dan sebuah sarung tenun melayang kemana-mana, disusul umpatan-umpatan kotor dan makian-makian keji.
“Kau mau menipuku pak tua?”
Pemimpin gerombolan itu menghampiri dengan wajah bengis dan tangan terkepal.
“Tunggu dulu, didalam tas itu memang benar ada sebuah benda berharga.”
Dirogohnya tas itu dan dalam genggaman tangannya sebuah benda yang berkilauan memantulkan bayangan berkilat-kilat.
Orang-orang sangar itu tertegun sejenak, sebelum meledakkan udara dengan kemarahan yang menghentak.
Pak tua itu hanya bisa mundur-mundur sambil memegang benda berkilau itu.
“Kalian lihatlah! Bukankah benda ini amat berharga bagi manusia. Sadarkah kalian, bahwa diri kalian ada dalam benda ini. Bertahun-tahun mata hati kalian tidak melihat, bertahun-tahun kalian sengaja membutakan diri, menulikan telinga, dan memaksa nurani sendiri untuk tidak mengakui bahwa sebenarnya kalian adalah manusia yang punya rasa dan iba. Kenyataan hidup telah kalian makan mentah sebagai takdir, tanpa usaha, tanpa doa. Lihatlah disini, dan kalian akan melihat bahwa air mata dan taubat itu masih ada.”
Tersengal-sengal pak tua itu bicara. Nada suaranya bergetar lirih mengikuti senja yang mulai mengikatkan lorong itu pada sepi. Orang-orang itu terdiam, termangu, kemudian satu persatu merobek kesewenangan dan keputusasaan melihat cermin yang sedari tadi dipegang oleh pak tua, lalu berjalan pergi beriringan sambil mengaca ketelanjangan hakiki mereka sebagai seorang manusia.
Pak tua itu mengusap dadanya yang sesak oleh rasa haru dan syukur. Tidak ada yang lebih indah di dunia ini, selain berpalingnya batin-batin hitam dari kegelapan.
Onggokan baju malam semakin kelam, melangkahi waktu dengan tertatih dan sendiri. Sepuluh langkah lagi pak tua itu akan sampai pada tujuan perjalanannya. Sepuluh langkah lagi rumah anaknya yang baru beberapa hari yang lalu dia ketahui sebagai anak kandungnya akan terlangkahi. Sepuluh langkah lagi segala penyesalan yang mengendap selama puluhan tahun akibat masa mudanya yang berkubang dosa akan tertumpahkan. Sepuluh langkah yang tidak bisa dia selesaikan selama hidupnya ketika sepuluh detik kemudian sebuah sorot lampu kendaraan menyeberangi pundaknya, mendahului terlemparnya tubuh tuanya.
Matanya membuka, hanya untuk melihat sebuah Mercedes berhenti sejenak, yang lalu dengan tergesa-gesa menghambur dalam kegelapan malam.
Sebelum jantung tuanya dipaku oleh takdir kematian, bibir tua itu masih sempat bergetar mengeja kata,
“Akhir dari sebuah perjalanan, bukanlah perhentian\tapi awal dari terbukanya pintu abadi kehidupan\Allahu Akbar…..Allahu Akbar…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H