Teriknya siang semakin memanggang rimbun belantara Jakarta. Pak tua itu terus saja menelusuri satu demi satu ruang sempit yang disediakan ibu kota. Mencoba menggali keberaniannya yang tertimbun kenyataan hidup. Melepas segala haus yang melilit kerongkongan nuraninya akan beberapa buah ketulusan dan keperdulian penghuni belantara kota ini.
“Toloooong!”
Jeritan yang mengundang iba dan ketakutan itu mendorong pak tua untuk mendatangi. Dilihatnya seorang wanita muda berusaha mempertahankan tasnya dari beberapa orang bertampar sangar.
“Hey! Hentikan!”
Tampang-tampang sangar itu serentak menoleh ke sumber suara, dan nyali mereka yang mendadak terputus tadi kembali bangkit.
“Tua bangka sialan, enyah kau dari sini! Atau kau ingin tubuhmu yang peot itu jadi santapan tikus-tikus got.”
Dengan senyum sareh pak tua itu melemparkan tasnya di depan mereka.
“Kalian boleh ambil tasku, tapi lepaskan wanita itu.”
Salah seorang dari bajingan itu membuka tas pak tua dan mengaduk isinya. Pakaian-pakaian kumal, sepasang sandal jepit, sajadah tua dan sebuah sarung tenun melayang kemana-mana, disusul umpatan-umpatan kotor dan makian-makian keji.
“Kau mau menipuku pak tua?”
Pemimpin gerombolan itu menghampiri dengan wajah bengis dan tangan terkepal.