Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir Sang Penyair

1 April 2017   17:34 Diperbarui: 2 April 2017   02:00 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tunggu dulu, didalam tas itu memang benar ada sebuah benda berharga.”

Dirogohnya tas itu dan dalam genggaman tangannya sebuah benda yang berkilauan memantulkan bayangan berkilat-kilat.

Orang-orang sangar itu tertegun sejenak,  sebelum meledakkan udara dengan kemarahan yang menghentak.

Pak tua itu hanya bisa mundur-mundur sambil memegang benda berkilau itu.

“Kalian lihatlah! Bukankah benda ini amat berharga bagi manusia.  Sadarkah kalian, bahwa diri kalian ada dalam benda ini.  Bertahun-tahun mata hati kalian tidak melihat, bertahun-tahun kalian sengaja membutakan diri, menulikan telinga, dan memaksa nurani sendiri untuk tidak mengakui bahwa sebenarnya kalian adalah manusia yang punya rasa dan iba.  Kenyataan hidup telah kalian makan mentah sebagai takdir, tanpa usaha, tanpa doa.  Lihatlah disini, dan kalian akan melihat bahwa air mata dan taubat itu masih ada.”

Tersengal-sengal pak tua itu bicara.  Nada suaranya bergetar lirih mengikuti senja yang mulai mengikatkan lorong itu pada sepi.  Orang-orang itu terdiam, termangu, kemudian satu persatu merobek kesewenangan dan keputusasaan melihat cermin yang sedari tadi dipegang oleh pak tua, lalu berjalan pergi beriringan sambil mengaca ketelanjangan hakiki mereka sebagai seorang manusia.

Pak tua itu mengusap dadanya yang sesak oleh rasa haru dan syukur.  Tidak ada yang lebih indah di dunia ini, selain berpalingnya batin-batin hitam dari kegelapan.

Onggokan baju malam semakin kelam, melangkahi waktu dengan tertatih dan sendiri.  Sepuluh langkah lagi pak tua itu akan sampai pada tujuan perjalanannya.  Sepuluh langkah lagi rumah anaknya yang baru beberapa hari yang lalu dia ketahui sebagai anak kandungnya akan terlangkahi.  Sepuluh langkah lagi segala penyesalan yang mengendap selama puluhan tahun akibat masa mudanya yang berkubang dosa akan tertumpahkan.  Sepuluh langkah yang tidak bisa dia selesaikan selama hidupnya ketika sepuluh detik kemudian sebuah sorot lampu kendaraan menyeberangi pundaknya, mendahului terlemparnya tubuh tuanya.

Matanya membuka, hanya untuk melihat sebuah Mercedes berhenti sejenak, yang lalu dengan tergesa-gesa menghambur dalam kegelapan malam.

Sebelum jantung tuanya dipaku oleh takdir kematian, bibir tua itu masih sempat bergetar mengeja kata,

“Akhir dari sebuah perjalanan, bukanlah perhentian\tapi awal dari terbukanya pintu abadi kehidupan\Allahu Akbar…..Allahu Akbar…..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun