Dilihatnya sepasang mata berkuasa.
“Saya manajer rumah makan ini, saya harap pak tua segera meninggalkan tempat ini.”
Diangsurkannya tangan umtuk memperlihatkan lembaran-lembaran uang puluhan ribu, tapi mata itu tetap menunjukkan kuasa, meski sekarang agak mengendur,
“Maaf, pak tua boleh punya uang, tapi saya takut tamu-tamu langganan saya akan kehilangan selera melihat kekumuhan bapak.”
Kali ini dijawabnya dengan sedikit tersinggung,
“Tapi, saya sanggup bayar. Lagipula yang mau makan itu saya bukan pakaian saya.”
Mata berkuasa itu tetap berkuasa, memberi isyarat seorang satpam untuk segera menjalankan tugasnya. Pak tua itu hanya tersenyum pahit ketika satpam menggandeng kejengkelannya keluar halaman.
“Pak tua, maafkan saya. Saya hanya menjalankan tugas.”
Sebuah ketulusan dan penyesalan memancar pada mata didepannya. Pak tua itu hanya mengangguk pelan, digenggamnya tangan sang satpam sembari menyelipkan uang yang rencananya tadi untuk makan. Satpam itu berusaha menolak dengan sopan.
“Ambillah nak. Uang ini memang ditakdirkan untuk menjadi rejeki tempat ini, dan aku senang bahwa aku bisa memberikannya pada tempat yang tepat.”
Pak tua itu mengayunkan langkahnya, meninggalkan raut muka penuh syukur dan terima kasih sang satpam.