Dinihari pukul dua
Aku terbangun tiba tiba. Bahkan dentang jam masih bersembunyi dari angka dua.
Aku mencoba meraih kantuk di sekelilingku. Namun sudah tak ada sisa. Semua kantuk telah terlelap kembali. Bagaimana mungkin kantuk bisa melenyap? Sedang tidurku bahkan belum seperempat malam?
Ini adalah gelisah. Tak terkira kira resah. Hatiku berguncang guncang seperti kereta kuda yang berjalan di jalanan tak rata. Seperti layaknya kapal laut yang bertemu dengan gelombang berurutan. Semakin meninggi tiada henti.
Batinku lalu bertualang....
Rinduku pada sebuah mimpi. Masih berkejaran di dalam setiap sudut pengharapanku. Menyapa, menari nari, lalu meletakkan hatiku dalam sebuah timbangan. Segenap diriku bertumpu pada sisi sebelah sini. Dimana cinta adalah prakata yang tertulis sejak lama.
Aku langsung teringat kamu.
Rinduku pada sebuah pengembaraan. Tak pernah ada akhir karena aku bahkan belum memulainya. Melilitkan kain sarung tidak hanya saat adzan magrib tiba. Menghitung sholatku tidak hanya lima. Kenakan peci bukan karena sebuah acara menghadiri. Mengambil wudlu  tidak lagi karena wajib membasuh najis dan keseragaman sesi. Membaca kalimat yang terukir gagah bermakna indah. Dari kitab suci lusuh yang aku simpan berbulan tahun.
Aku langsung teringat kepada Tuhan.
Rasanya semakin menusuk nusuk. Seperti sebuah jarum yang berulang melewati lubang benang, tapi tak kunjung selesai jahitannya. Aku berharap aku tertidur tanpa kantuk. Tapi tentu saja tak bisa. Mataku menjelajahi langit-langit rindu yang kembali menguasaiku. Tanpa ampun tanpa ragu.
Aku teringat kemanusiaanku.
Belum banyak yang aku lakukan untuk membuat orang lain tersenyum. Pada bahagia. Belum banyak yang aku sampaikan membuat orang lain tertawa lepas. Pada bahagia. Semua masih dalam keliman ragu. Semua bahkan belum melewati angka tujuh. Itu kiraku.
Sekarang aku harus teringat apa lagi? Agar aku melengkapi dinihariku yang dipenuhi misteri ini? Aku tak bisa memilih. Itu bukan hakku. Â Itu bukan nalarku. Itu adalah hak seutuhnya hatiku.
Tiba-tiba aku teringat betapa alam sekarang menggerung-gerung bertangisan. Wajahnya berduka hebat. Tubuhnya terluka berat. Disana sini, sungai-sungaimu menangiskan besi, laut-lautmu cacat karena tumpahan minyak, gunung-gunungmu terbungkuk menahan tua yang belum waktunya, tanah-tanahmu berkubang menganga berkolam-kolam. Â Lebih parah lagi, isi perutmu diaduk-aduk tanpa rasa kasihan, mencari berbutir pasir dan batu muliamu.
Ah kembali aku teringat kamu.
Kau menguasaiku begitu dalam. Ini terasa sampai di kedalaman tulang. Nyeri, adalah kalimat yang tepat. Ketika aku teringat. Pedih, adalah kata berjampi. Ketika aku tersengat. Tapi cinta...kau tuangkan berdanau-danau semangat. Tanpa putus. Tak pernah pupus. Dan sayang...kau melantai berdansa denganku, dengan gerakan gerakan seirama tibanya fajar. Pertanda bahwa tak ada kebodohan yang terulang, kesombongan yang mengada-ada, atau kata terlambat untuk berawal lagi.
Kegelapan lalu berduyun-duyun menghujani mataku. Setelah aku menyelesaikan misteri dinihariku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H