Belum banyak yang aku lakukan untuk membuat orang lain tersenyum. Pada bahagia. Belum banyak yang aku sampaikan membuat orang lain tertawa lepas. Pada bahagia. Semua masih dalam keliman ragu. Semua bahkan belum melewati angka tujuh. Itu kiraku.
Sekarang aku harus teringat apa lagi? Agar aku melengkapi dinihariku yang dipenuhi misteri ini? Aku tak bisa memilih. Itu bukan hakku. Â Itu bukan nalarku. Itu adalah hak seutuhnya hatiku.
Tiba-tiba aku teringat betapa alam sekarang menggerung-gerung bertangisan. Wajahnya berduka hebat. Tubuhnya terluka berat. Disana sini, sungai-sungaimu menangiskan besi, laut-lautmu cacat karena tumpahan minyak, gunung-gunungmu terbungkuk menahan tua yang belum waktunya, tanah-tanahmu berkubang menganga berkolam-kolam. Â Lebih parah lagi, isi perutmu diaduk-aduk tanpa rasa kasihan, mencari berbutir pasir dan batu muliamu.
Ah kembali aku teringat kamu.
Kau menguasaiku begitu dalam. Ini terasa sampai di kedalaman tulang. Nyeri, adalah kalimat yang tepat. Ketika aku teringat. Pedih, adalah kata berjampi. Ketika aku tersengat. Tapi cinta...kau tuangkan berdanau-danau semangat. Tanpa putus. Tak pernah pupus. Dan sayang...kau melantai berdansa denganku, dengan gerakan gerakan seirama tibanya fajar. Pertanda bahwa tak ada kebodohan yang terulang, kesombongan yang mengada-ada, atau kata terlambat untuk berawal lagi.
Kegelapan lalu berduyun-duyun menghujani mataku. Setelah aku menyelesaikan misteri dinihariku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H