Tingkat kesulitan dan kerepotan pun bertingkat, dari yang paling sederhana, menggunakan aplikasi baru, melakukan proses dan prosedur melalui komputer, atau yang lebih rumit penerapan teknologi dalan sebuah operasional perusahaan. Kenyataan ini membuat ngeri kebanyakan orang.
Resiliensi dibutuhkan dalam proses transisi dari belum bisa, menjadi bisa dan sampai tahap jago, artinya benar-benar bisa mengoptimalkan manfaat.
Mungkin karena manusia pada dasarnya penuh pertimbangan. Memang tidak semua dari kita seperti itu, ada pula jenis manusia yang tidak perlu banyak mikir langsung tancap gas. Namun jumlahnya tidak banyak.
Saya akan berbagai pengalaman tentang situasi yang saya alami dalam beradaptasi dengan penggunaan artificial intelligence AI, dua huruf yang mengguncang dunia. Walapun saat ini yang paling populer dalam penggunaan adalah jenis generative AI seperti Chat GPT, Gemini, Bing Chat, yang memposisikan diri sebagai kecerdasan buatan menyerupai manusia.
Paling tidak butuh waktu hampir setahun untuk melakukan berbagai percobaan trial and error dengan alat ini. Butuh waktu cukup lama bagi saya, untuk dapat memposisikan alat ini sebagai alat bantu atau asisten digital saya. Dan yang paling penting tidak terjebak kepada keseragaman pola pikir dan keseragaman output pekerjaan. Kita memang harus berhati-hati dengan AI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H