Mohon tunggu...
Milasari
Milasari Mohon Tunggu... Operator - Penyuka buku

Menulis adalah seni berbagi kebaikan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Upaya Mendukung Urban Farming "Aku dan Air"

6 September 2019   22:07 Diperbarui: 11 September 2019   21:21 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Go urban farming. sumber: sustainablecompetitiveness.wordpress.com

 "Eh, malam minggu besok mau kemana Lin?" tanya Hesti kepadaku sore ini.

"Sepertinya aku enggak keman-mana?"

"Loh, kenapa? Tumben sih Lin! Biasanya kamu tuh paling gencar ngajakin kita malam mingguan gitu!" Hesti terus mencercaku dengan pertanyaannya. Aku tak bergeming dan terus merapikan buku-buku pelajaran milikku.

"Lin, diajak ngomong kok diem saja! Ada apa sih, tumben bener!"

"Enggak kenapa-kenapa. Aku tuh cuman kepikiran saja sama omongan Pak Gunadi selaku Kepala Desa dengan penjelasan Pak Hendro tentang Pencemaran Lingkungkan kemarin." Kami mulai berjalan menyusuri koridor sekolah untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, kami terus memeluk keheningan. Tak ada obrolan apapun sampai di perbatasan, hingga kami melintasi sungai yang airnya tampak keruh dan menggenang karena tersumbat sampah dimana-mana.

"Kau lihat Hes, ini semua akan mengakibatkan banjir. Tidak hanya itu, udara dan air pun akan ikut tercemar." Aku berhenti di sisi sungai dan terus memandangi sungai yang alirannya tersumbat oleh sampah.

"Lalu, kita ini bisa apa Lin? Selain hanya mampu melihat situasi ini tanpa tindakan."

"Tidak, kita tidak akan berdiam diri seperti ini saja. Kita harus bertindak. Haruss!" Aku meyakinkan Hesti agar kita sama-sama melakukan sesuatu. Aku lantas menyeret pergelangan tangannya, tanpa izin terlebih dulu.

"Eh, Merlin. Lu mau ngapain, hah?" cercanya.

"Kita harus ke rumah Pak Gunadi sekarang Hes! Aku akan memberi usulan tentang rencana Pak Gunadi kemarin."

"Usulan apa sih Lin?" Hesti menghentikan langkahku seraya meminta kejelasan.

"Urban Farming. Kita bisa menangani masalah pencemaran lingkungan ini dengan menggalakkan Urban Farming, seperti yang telah diterangkan Pak Hendro kemarin."

Dalam perbincangannku dengan Pak Gunadi tadi sore sepertinya, rencanaku di tanggapi dengan baik. Aku menjelaskan panjang lebar tentang Urban Farming. Bahwa, masalah ini harus di selesaikan bersama. Bukan sibuk menyalahkan sana sini, tapi kita berani mengambil tindakan untuk keselamatan lingkungan bersama. 

Malamnya, aku berdiskusi dengan Hesti. Tentang rencana Urban Farming, kini aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku dengan hal yang tidak berfaedah. Menghabiskan malam minggu yang tidak jelas, pikirku. Setelah mendengar penjelasan Pak Hendro tentang Urban farming, aku mulai tertarik dan mempelajarinya. Berbekal catatan dari penjelasan Pak Hendro dan beberapa buku yang aku pinjam dari perpustakaan sekolah, kini kami mulai membuat perencanaan.

"Aku lihat di sepanjang jalan desa kita, masih minim akan penghijauan Hes." Aku memulai diskusi dengannya.

"Ya, iyalah! Kau tau sendiri ini bukan pedesaan tapi perkotaan. Jangankan memikirkan untuk menanam pohon di setiap jalan, rumah kita saja hampir tidak punya wajah Lin!"

Aku menghembuskan napas perlahan, membenarkan perkataan Hesti barusan. Memang, kondisi di kota jauh dari kata asri. Rumah kami saling berdempetan satu sama lain. Dan hampir setiap rumah di daerah perkotaan memang tidak mempunyai halaman.

"Tapi kita masih bisa memulainya kok! Kita budayakan tanaman hidroponik di setiap rumah."

"Aduhh, Lin! Kamu lupa kalau kita tidak punya banyak tempat untuk menanamnya."

"Kita bisa menggunakan cara vertikultural." 

Di tengah perdebatanku dengan Hesti, muncul Rika dan Ririn teman sekelas yang aku minta kesediaannya untuk berdiskusi denganku akan upaya Urban Farming. Beruntungnya kita memang sama-sama tinggal di lingkungan perkotaan. Upayaku menggerakkan Urban Farming di lingkungan perkotaan akhirnya mendapat tanggapan baik dari Rika dan Ririn. Mereka pun bersepakat untuk memulai dari lingkungan keluarga sendiri.

"Yang terpenting, sebuah perubahan memang harus dimulai dari diri sendiri dulu. Setelah itu memberi edukasi pada keluarga sebelum kepada masyarakat luas." tanggapan Rika saat itu.

"Setuju, karena perubahan harus dimulai dari sebuah tindakan bukan omongan." tambah Ririn menyetujui.

Keesokan hari, di lingkunganku di adakan kerja bakti. Dari membersihkan selokan, sungai serta memangkas pepohonan yang sudah tak layak dan diganti dengan menanam pohon baru. Setelah kerja bakti selesai, Pak Gunadi menjelaskan akan pentingnya menjaga Lingkungan dengan cara membuang sampah pada tempatnya, menekan pembuangan sampah di TPA dengan menimbun sampah yang sudah dipilah-pilah di belakang rumah, selain itu memanfaatkan sampah atau mendaur ulangnya, terutama plastik.

Karena jumlah sampah terbanyak di Indonesia masih didominasi oleh sampah berupa plastik. Tak hanya itu, beliau juga menghimbau agar setiap rumah minimal mempunyai tanaman. Setiap dua minggu sekali akan ada edukasi tentang perawatan tanaman hidroponik dan juga sistem tanam vertikultural. Di upayakan setiap enam bulan sekali akan diadakan kerja bakti dan sharing bersama. Karena menjaga Lingkungan, adalah tugas kita bersama. Saling gotong royong agar tercipta kerukunan antar warga.

Setelah beberapa bulan, aku mulai melihat perbedaan pada kotaku. Meski tidak signifikan, namun perubahan itu muncul sebagai bentuk kesadaran diri. Kini lingkungan perkotaan mulai nampak sedap dipandang mata. Karena sekali lagi perubahan di mulai dari hal terkecil dan itu dari diri sendiri 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun