Adalah menarik menilik pada heterogenitas manusia, bagaimana sejarah bermula? Homogen (tribal/suku) hingga heterogen (nations/bangsa-bangsa).
J.Knappert (1996), mengulas tentang evolusi manusia. Menurutnya evolusi masyarakat manusia ini berawal dari keluarga, klan, suku, kerajaan, kekaisaran, hingga negara bangsa.
Dalam esainya Jan mengungkap bahwa kompetisi penguasaan sumber daya dan lahan membuat manusia berhasrat untuk mengorganisir kekuatan kelompok masyarakat yang lebih besar dan kuat lagi. Maka dapat disimpulkan bahwa perjalanan peradaban ini masihlah perihal penaklukan dan penguasaan.
Salah satu akibatnya, beberapa kelompok kecil sebelumnya yakni suku-suku pun hanyut didalamnya dan tak lagi kita ketahui eksistensinya di hari ini.
Di Indonesia, berdasarkan data BPS 2010 diketahui terdapat 1.340 suku. Dan melalui obrolan dengan beberapa rekan, telah disinyalir bahwa ada tidak sedikit juga suku yang sudah hilang.
Bahasa, nyanyian, tradisi, adat, penganan, pakaian dan atribut lain kesukuan pun perlahan namun pasti, lenyap. Sebagaimana cerita seorang teman yang melakukan project perekaman lulabies (lagu-lagu Nina Bobo) Aceh hingga Papua, menyampaikan bahwa di beberapa tempat sudah tidak ada lagi penuturnya.
Akan tetapi, meskipun demikian keberadaan suku-suku ini, marga-marga dan lainnya tidak boleh kita nihilkan, terlebih dalam bernegara yakni berdasar konsep sosio nasionalisme atau konsep kebangsaan yang berperikemanusiaan, yang humanis.
Keberadaan suku-suku yang tersisa ini harus, wajib kita jaga kelestariannya. Institusi kebudayaan harus mendukung 1000% dalam hal ini.Â
Dengan menyokong festival-festivalnya, pagelaran-pagelaran seni budayanya, lomba-lomba bahasa sukunya, industri kecil hingga besar sandang, pangan, papan khasnya, keterjagaan struktural adat dan habitatnya, agama kepercayaannya, dan masih banyak lagi.
Sebagai pribadi, saya merindu melihat keindonesiaan hadir secara alami di pelupuk mata. Lihatlah cara hidup masyarakat adat, adakah mereka merusak tempat hidup mereka?
Modernisasi lah yang mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan bencana-bencana alam, kita tidak lagi menjalin hubungan yang harmonis baik itu dengan Sang Hyang, dengan sesama, dengan alam sekitar. Seakan tidak diterap sebetul-betul hablumminAllah, hablumminAnnas dan hablumminalalam, tak ada Tri Hita Karana. Tidak sedih kah kita? Saya, iya.. ini sangat depresif sekali.